Friday, February 18, 2011

Pelaksanaan Asas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

A.         PENDAHULULAN

1.         Latar Belakang

Sejarah hukum tentang perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka (disebut juga asas kebebasan kekuasaan kehakiman) di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah hukum nasional, terkait dengan konsep negara hukum (rechtstaat) yang dianut Undang-undang Dasar 1945 (disingkat UUD 1945).
Dalam penyusunan badan-badan negara pemerintahan Indonesia, para pendiri negara Indonesia dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica tentang pemisahan kekuasaan.  Muhammad Yamin selaku salah satu penyusun Naskah Persiapan UUD 145 menjelaskan bahwa Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berdiri sendiri atau dalam keadaan bebas dan terpisah dari kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif) sebagai akibat dari ajaran Trias Politica.[1]
Ajaran Trias Politica pada mulanya dikemukakan John Locke di abad XVII dalam Two Treatises On Civil Government yang mengritik kekuasaan raja Inggris yang sewenang-wenang. John Locke mengemukakan gagasan agar kekuasaan negara dibagi menjadi tiga, yakni: kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan di bidang keamanan dalam hubungannya dengan negara lain (federatif).[2]
Ajaran John Locke selanjutnya dikembangkan oleh Montesquieu, seorang filsuf Perancis, yang dalam karyanya L’Esprit des Lois membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu kekusaan legislatif, eksekutif dan yudisiil (kekuasaan mengadili).[3]
Hingga saat ini, satu-satunya sistem yang rasional untuk menghindari absolutisme kekuasaan adalah dengan pembagian kekuasaan negara. M. Nasroen menyatakan bahwa bentuk wajar suatu negara yang berdasarkan kemauan rakyat bukanlah negara berbentuk absolut, tetapi bentuk negara yang terdapat pembagian kekuasaan negara di mana tiap-tiap kekuasaan negara dijalankan oleh badan-badan tertentu.[4]
Meskipun pada kenyataannya ajaran Trias Politica tidak dapat dilaksanakan secara murni, pada umumnya para ahli hukum sepakat bahwa pemisahan  kekuasaan (separation of power) yudisiil dari kekuasaan lainnya harus dilaksanakan secara murni. Pendirian tersebut juga dapat dilihat dari sejarah penyusunan Bab IX UUD 1945 sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Yamin tersebut.
Di Indonesia, ajaran Trias Politica dijalankan dengan konsep distribution of power (distribusi kekuasaan), bukan lagi separation of power (pemisahan kekuasaaan). Pola itu dapat dilihat di dalam UUD 1945 di mana lembaga tertinggi negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang secara struktural membawahi lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil. Lembaga legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama atau bekerjasama dengan Presiden. Sedangkan lembaga yudisiil semula dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan lembaga-lembaga pengadilan di bawahnya. Namun dalam perkembangannya lembaga yudisiil juga dilaksanakan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah amandemen UUD 1945.
Perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia, dengan adanya amandemen UUD 1945, wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi berkurang, di mana MPR tidak lagi mengangkat Presiden,  sebab kini Presiden juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Namun demikian fungsi distribusi kekuasaan masih ada di tangan MPR yang berwenang memberhentikan jabatan Presiden melalui alasan khusus dan hukum acara yang ditentukan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen (pasal 7A dan 7B. Sistem bikameral MPR yang berisi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana ditentukan pasal 2 UUD 1945 yang telah diamandemen menunjukkan kekuasaan-kekuasaan MPR yang terdistribusi melalui kedua lembaga negara tersebut, serta membagi-bagi kekuasaan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 yang perubahan dan penetapannya memang menjadi wewenang MPR sebagaimana ditentukan pasal 3 ayat (1) UUD 1945.
Apabila diteliti seksama, tampaknya UUD 1945 memang dikonstruksikan adanya distribusi kekuasaan negara yang dilakukan MPR tetapi di sisi lain mempertahankan konsep separation of power khusus untuk lembaga yudisiil dengan lembaga-lembaga lainnya dalam pemerintahan negara, dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dimaksudkan sebagai kebebasan yang liberal sebab dalam sistem kekuasaan kehakiman dibentuk Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga di luar badan peradilan yang berwenang mengontrol para hakim berkaitan dengan penegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku para hakim (lihat pasal 24B ayat (1) UUD 1945).
Perkembangan Hukum Tata Negara tersebut mempunyai korelasi penting dan sejalan dengan sejarah perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka yang akan dijelaskan berikut ini.

2.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut, maka pokok masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah sejarah hukum implementasi asas kebebasan kekuasaan kehakiman di Indonesia?”

B.          PEMBAHASAN

Studi yang mempelajari perkembangan pelaksanaan asas kebebasan kerkuasaan kehakiman merupakan bagian dari studi sejarah hukum. Apabila dilihat dalam sejarahnya, asas kebebasan kekuasaan kehakiman merupakan pengembangan dari Ilmu Negara dan kini menjadi bagian Hukum Tata Negara, terbukti asas tersebut termaktub dalam Bab IX UUD 1945 (pasal 24 ayat (1) dan penjelasannya.
Sejarah hukum dalam suatu negara tentu berbeda dengan negara-negara lainnya. Setiap negara mempunyai karakteristik hukum yang dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan masing-masing sebagai faktor internal dan pengaruh-pengaruh eksternal karena adanya interaksi dengan kebudayaan-kebudayaan maupun sistem hukum asing.
Perkembangan sejarah hukum Indonesia dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan dan cara hidup bangsa Indonesia serta pengaruh hukum Belanda yang beraliran Eropa Kontinental (Civil Law), karena faktor sejarah penjajahan Belanda yang menerapkan hukumnya di Indonesia, serta terdapat pengaruh hukum aliran Anglo Saxon (Common Law) karena banyak sarjana hukum yang menjadi pemikir negara yang telah menjalani studi di Amerika Serikat, Australia dan Inggris. Sedangkan perkembangan hukum Belanda setidaknya dipengaruhi oleh kebudayaan dan tata cara hidup bangsa Belanda yang dipengaruhi juga oleh hukum Perancis yang pernah menjajahnya serta pemikiran-pemikiran hukum modern yang berkembang di dunia.  
Sebagaimana Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa sejarah hukum adalah suatu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda kerena dibatasi oleh perbedaan waktu.[5]
Tentu saja bahwa asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat berkaitan dengan pengaruh faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan tersebut.
Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) merupakan pelopor sejarah hukum, sebagai reaksi terhadap mazhab hukum alam yang berkembang di Eropa pada zamannya. Pemikiran Von Savigny melahirkan mazhab sejarah hukum dalam ilmu pengetahuan hukum. Von Savigny mengatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati jika suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.[6]
Hukum tentang asas kekuasaan kehakiman yang merdeka bermula dari kritik terhadap absolutisme kekuasaan monarki atau raja-raja di Eropa, sebagaimana dikemukakan John Locke dan Montesquieu tersebut. Apabila membaca sejarah pemikiran kedua filsuf tersebut, harus diakui bahwa mereka merupakan para filsuf beraliran liberal yang mengedepankan pemikiran tentang perlindungan hak-hak individu.
Namun demikian, konsep pemisahan kekuasaan negara (separation of power) yang digagas Locke dan Montesquieu sejalan dengan prinsip negara demokrasi yang tidak menghendaki penumpukan kekuasaan di satu tangan. Dalam negara modern sering terjadi sengketa antara warga negara dengan penguasa, terutama sengketa antara badan atau pejabat pemerintah dengan masyarakat. Jika kekuasaan mengadili (yudisiil) berada di tangan badan atau pejabat pemerintah itu sendiri, tentu kemungkinan besar tidak akan membuahkan putusan perkara yang dilandasi independensi hakim. Itulah yang menjadi bagian dari pemikiran dasar dilaksanakannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Sejarah penerapan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dibagi dalam dua masa, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Masa sebelum kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua rentang waktu, yakni masa kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Sengaja pada masa penjajahan Inggris yang sebentar tidak akan diuraikan di sini sebab pada masa itu tidak ada perubahan hukum yang substansial tentang penerapan asas kekuasaan kehakiman di Hindia Belanda.
Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan dapat dibagi kurun sejarah di masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Selengkapnya akan dibahas selanjutnya ini.

1.      Masa Kolonial Belanda

Untuk melihat kesinambungan sejarah asas kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia, hendaknya kita juga melacak perkembangan hukumnya di Belanda, sebab harus diakui bahwa sistem hukum di Indonesia dan peradilannya banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda.
Mr. R. Tresna mencatat bahwa tanggal 1 Mei 1848 merupakan garis waktu yang amat penting untuk mengetahui riwayat perkembangan hukum Indonesia. Tanggal itu merupakan saat hapusnya kekuatan hukum Belanda kuno dan hukum Romawi yang dinyatakan dalam pasal 1 Bepalingen omtrent de invoering van-en de overgang tot de nieuwe wet geving (Ketentuan-ketentuan tentang berlakunya dan peralihan perundang-undangan baru) tanggal 3 Maret 1848, Stb. nomor 10). Perundang-undangan baru tersebut adalah akibat dari penghapusan hukum Kerajaan Perancis setelah Belanda merdeka dari Perancis.[7]
Berdasarkan asas concordans-beginsel (penyesuaian) maka perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut diberlakukan pula di Indonesia (Hindia Belanda). Firman Raja Belanda tanggal 15 Desember 1845 Nomor 67 menetapkan Mr. H.L. Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan Ketua Mahkamah Agung (MA) dan MA Tentara. Selanjutnya Raja Belanda mengeluarkan firman tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 untuk memberlakukan beberapa produk hukum Belanda kepada Hindia Belanda.[8]
Dalam firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut ditentukan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda berwenang mengatur dan menentukan berlakunya peraturan-peraturan yang diberlakukan di Hindia Belanda termasuk Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan (pasal 1 dan 2), serta diberikan kuasa untuk menetapkan dan mengeluarkan segala ketentuan hukum dan peraturan serta petunjuk yang dianggap perlu untuk memperlakukan peraturan perundang-undangan baru secara tertib yang akan disahkan Raja di dalam hal-hal yang ditentukan Peraturan Pemerintah.[9]
Catatan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan asas kekuasaan kekuasaan kehakiman yang merdeka di tahun 1846 itu masih dalam tahap kebebasan fungsional, belum sampai pada kemerdekaan struktural. Pembagian kekuasaan pemerintahan Belanda pada masa itu telah dilakukan, namun fungsi-fungsi legislatif dijalankan oleh Raja Belanda dan di Hindia Belanda juga dijalankan Gubernur Jenderal. Sedangkan lembaga yudisiil di Hindia Belanda masih berada di bawah kontrol Gubernur Jenderal, meskipun sudah dibentuk badan peradilan yang secara teknis berpuncak di MA (Hooggerechtshof).
Dalam pasal 9 firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut memang ditentukan bahwa dalam menetapkan peraturan-peraturan di Hindia Belanda, atas kuasa raja, dengan meminta pertimbangan MA, namun pasal 4 firman raja Belanda tersebut juga memberi wewenang Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan-peraturan termasuk tentang tata usaha pengadilan sipil.
Selain itu, ternyata fungsi legislatif di Hindia Belanda di masa tersebut juga melibatkan pejabat lembaga yudisiil. Mr. Wichers yang telah diangkat Raja Belanda menjadi Ketua MA di Hindia Belanda juga ditugaskan untuk menyusun perundang-undangan dalam tim  Hooggerechtshof (pengadilan tertinggi di Hindia Belanda yang berpusat di Jakarta, sejenis MA). Salah satu produk perundang-undangan yang disusun dan akhirnya disetujui Gubernur Jenderal Rochussen adalah Inlandsch Reglement tanggal 5 April 1848, Stb. nomor 16 yang kemudian disahkan dengan firman Raja Belanda tanggal 29 September 1849 Nomor 93 Stb. nomor 63.[10]
Begitu pula soal jabatan hakim. Ketua atau Presiden Hooggerechtshof ditetapkan oleh raja Belanda. Para hakim di pengadilan karesidenan (Residentiegerecht) di luar Jawa juga ada yang merupakan pegawai pemerintah Belanda. Bahkan pengadilan distrik (Districtsgerecht) bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura diselenggarakan oleh Wedana sebagai hakim tunggal. Pengadilan banding di kabupaten (Regentschapsgerecht) juga diselenggarakan oleh bupati atau Patih. Begitu pula pengadilan Magistraatsgerecht ditangani para pegawai pemerintah Belanda di daerah masing-masing yang diangkat Residen. Hal serupa juga berlaku di pengadilan Landgerecht.[11]
Pada 1854 di Hindia Belanda juga diterbitkan Regerings Reglement (disingkat RR) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan  yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Namun demikian Kerajaan Belanda sendiri mempunyai Menteri Kehakiman yang mengatur para hakim, sehingga sistem hukum demikian berpengaruh di Hindia Belanda. Meski secara asas dijamin adanya peradilan yang bebas namun secara struktural tidak ada pemisahan lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak ditunjukkan adanya pemisahan tegas badan pemerintah (eksekutif) dengan lembaga yudisiil. Tetapi justru badan-badan pengadilan diatur oleh pemerintah yang menugaskan para pegawai pemerintah Hindia Belanda serta pejabat administrasi negara semacam Wedana dan Bupati untuk menjadi hakim yang menjalankan fungsi peradilan di daerah-daerah masing-masing. Di Kerajaan Belanda pada waktu itu juga ada Menteri Kehakiman yang merupakan kekuasaan eksekutif yang mengatur kekuasaan kehakiman.

2.       Masa Pendudukan Jepang

Pada 7 Maret 1942 Balatentara Jepang menguasai Hindia Belanda, sehingga pemerintahan Hindia Belanda waktu itu dijalankan oleh Pemerintah Balatentara Jepang yang berpedoman pada undang-undang yang disebut Gunseirei. Untuk pemerintahan di Jawa dan Madura dibuat pedoman Osamu Seirei berdasarkan Gunseirei tersebut. Peraturan pelaksanaannya disebut Osamu Kanrei.[12]  
Dalam bidang hukum Pemerintah Balatentara Jepang menerbitkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942, di mana pasal 3-nya menentukan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
Pengadilan-pengadilan yang ada di zaman kolonial Belanda hanya diubah namanya. Tetapi untuk  Hooggerechtshof  tidak disebut dalam beberapa peraturan konversi nama-nama badan-badan pengadilan yang ada. Hanya saja pemerintah Balatentara Jepang membentuk Saiko Hooin (Pengadilan Agung) dan Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi).[13]
Pada masa pendudukan Jepang ini tidak terlalu banyak perubahan berkaitan dengan pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Justru Pemerintah Balatentara Jepang mempunyai kekuasaan absolut untuk mengatur badan-badan pengadilan.

3.         Masa Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) tertulis negara. Aturan Peralihan yang ada di pasal I UUD 1945 menjadi dasar untuk mengambil alih segala peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga negara atau pemerintah yang ada di masa sebelum kemerdekaan selama belum diganti dengan yang baru menurut UUD 1945.
Seperti diuraikan di bagian terdahulu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman di masa kolonial Belanda dan pemerintahan Balatentara Jepang di Indonesia tidak mecerminkan adanya pemisahan tegas antara lembaga yudisiil dengan lembaga-lembaga lainnya, terutama masih ada hakim-hakim yang merangkap menjadi pegawai pemerintah (eksekutif).
Keadaan tersebut tampaknya berlanjut di masa Orde Lama.  Prof. Dr. Jur. A. Hamzah, S.H. menguraikan bahwa dalam hal "mandiri", hakim dan jaksa 1945-1959 berada dibawah "atap" departemen (kementerian) Kehakiman. Namun semua orang tahu dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa sungguh-sungguh independen pada waktu itu.  Jaksa Agung Suprapto pernah menangkap Menteri Kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65 tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata, bahwa boleh saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan tugasnya.[14]
Pada zaman Orde Lama, dengan Undang-undang  Nomor 19 tahun 1964 diatur campur tangan presiden dalam peradilan. Ketua Mahkamah Agung diangkat menjadi menteri (pembantu presiden). Dengan demikian, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945, telah dihapuskan oleh suatu undang-undang yang lebih rendah tingkatnya.[15]  
Pada zaman Orde Lama diterbitkan berbagai undang-undang terkait kekuasaan kehakiman tersebut antara lain: (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan,  (2) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan,  (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,  (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
            Begitu halnya dengan kekuasaan kehakiman pada pengadilan militer dapat dilacak dari Undang-undang Nomor  5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan sebagai Undang-undang Federal, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965. Ketua, Ketua Pengganti, Hakim Perwira pada Pengadilan Tentara (Militer) dan Pengadilan Tentara (Militer) Tinggi diangkat oleh Menteri Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata atas usul Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 9 ayat (1) dan pasal 15 ayat (1)). Di tingkat MA-pun ada hakim-hakim perwira yang berpangkat serendah-rendahnya Kolonel juga diangkat oleh Menteri Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata atas usul Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 23 ayat (2)).
            Di masa Orde Lama pada mulanya pengakuan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dibaca dalam  Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang ini menentukan:
(2)   Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang;
(3)   Pemegang kekuasaan pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar.
Namun dalam perkembangannya asas tersebut diterjang dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 yang pada pasal 19-nya menentukan bahwa demi kepentingan revolusi, kemerdekaan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.  Penjelasan pasal 19 tersebut menjelaskan: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang, bahwa Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.
Demikian pula dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah Agung yang mewajibkan hakim untuk memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila dan Manipol Usdek yang menempatkan Presiden sebagai Pemimipin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan seperti terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk terhadap kekuasaan kehakiman.
Keseluruhan undang-undang yang terkait kekuasaan kehakiman zaman Orde Lama tersebut meski dimaksudkan sebagai undang-undang organik untuk melaksanakan pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang memuat asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, namun ternyata masih menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif karena keberadaan Menteri Kehakiman sebagai atasan organisatoris, administratif dan finansial dari para hakim, bahkan para hakim dinyatakan harus tunduk kepada Manipol Usdek yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

4.         Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru tampil muncul arus pemikiran tentang pemurnian pelaksanaan UUD 1945 yang salah satu agendanya adalah menyusun undang-undang yang baru yang mengatur kembali asas kebebasan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri seperti telah pernah diatur sebelumnya oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948.[16]
Dalam hal tersebut  Yudhi Setiawan menguraikan sejarahnya sebagai berikut:
Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1967 tanggal 28 Maret 1967 pemerintah membentuk Panitia Interdepartemental Peninjauan Kembali Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965.  Selanjutnya dengan Keppres Nomor 271 Tahun 1967 tanggal 29 Desember 1967 Panitia Interdepartemenal ini diganti dengan Panitia Negara dengan tugas yang sama yaitu meninjau kembali kedua undang-undang tersebut dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang baru sebagai penggantinya. 
Pada tanggal 30 Juni 1968 Panitia tersebut telah berhasil merampungkan tugas-tugasnya dan pada tanggal 13 Agustus 1968 Presiden secara resmi menyampaikan kedua rancangan  undang-undang tersebut kepada Ketua DPRGR untuk dibicarakan dan mendapat persetujuan.  Akhirnya  Rancangan Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berhasil disetujui DPRGR dan kemudian disahkan serta diundangkan pada tanggal 17 Desember 1970 sebagai Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-Undang ini menentukan 4 jenis “peradilan” untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Keempat jenis peradilan itu adalah :
  1. Peradilan Umum diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986.
  2. Peradilan Agama diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
  3. Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
  4. Peradilan Militer diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.[17]

Meskipun semangat pembentukan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut adalah pemurnian pelaksanaan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945, namun dalam praktiknya menimbulkan dugaan kuat adanya intervensi kekuasaan eksekutif sebab pada hakim juga menjadi bawahan Menteri Kehakiman secara administrasi, organisasi dan finansial.
Contohnya adalah keluarnya Surat Ketua MA No. KMA/126/IV/1985, tanggal 5 April 1995 yang menyatakan bahwa putusan Peninjauan Kembali MA No. 381 PK/Pdt/1989 tanggal 28 Juli 1992 tidak dapat dieksekusi (nonexecutable) dengan alasan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya (dan tergugat lainnya) bukan badan hukum publik yang mempunyai kekayaan sendiri tetapi hanya mewakili daerahnya. Dalam perkara Tanah Adat Jayapura ini para penggugat memenangkan perkara tanah adat hak mereka di mana pengadilan mewajibkan Tergugat I, IV dan VIII untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 18,6 miliar. Perkara tersebut menjadi kontroversi pada saat itu dan disinyalir akan intervensi ekstrayudisiil yang mengakibatkan adanya intervensi Ketua MA untuk menyatakan putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.
Begitu pula dalam kasus pembebasan tanah rakyat Kedung Ombo, diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi MA No. 2263.K/Pdt/1991 yang memberi keadilan bagi rakyat.
Tetapi putusan kasasi tersebut dibatalkan oleh putusan PK MA No. 650 PK/Pdt/1994 yang menyatakan gugatan warga Kedungombo tidak dapat diterima.  Salah satu pertimbangan putusan PK MA tersebut adalah: pada saat gugatan kasus Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi perubahan peraturan yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sehingga berdasar atas azas Lex posteriori derogat legi priori, maka akan diterapkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan MA mengharuskan penyelesaiannya melalui Keppres tersebut. Tentu saja putusan PK demikian itu irasional sebab gugatan warga Kedung Ombo diajukan tahun 1990.
Selain kasus Tanah Adat Jayapura, kasus Kedung Ombo, juga kasus-kasus pembredelan pers pada zaman Orde Baru yang disahkan dengan putusan-putusan MA sehingga membuahkan kontroversi hukum, disinyalir akibat intervensi kekuasaan eksekutif karena keberadaan lembaga yudisiil yang dikatakan kepalanya ada di MA tetapi perutnya ada di eksekutif (di bawah Departemen Kehakiman). Hal itu dirumuskan dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

5.         Masa Orde Reformasi

Setelah berakhirnya pemerintahan tirani Orde Baru, hukum mengalami perkembangan yang lebih demokratis.  Pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan pada Sidang MPR bulan November 1998. 
Ketetapan MPR tersebut dilaksanakan dengan Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Kerja Terpadu untuk melakukan kajian Tap MPR tersebut yang memerintahkan pemisahan yang tegas antara fungsi yudisiil dengan fungsi eksekutif.  Hasil kerja Tim Terpadu tersebut merekomendasikan  pemisahan fungsi yudisiil dari fungsi eksekutif dengan mengubah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal 22. Berdasarkan rekomendasi tersebut Presiden B.J. Habibie mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal 22. 
Selanjutnya, DPR menyetujui dengan menetapkan RUU tersebut sebagai Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 yang berlaku pada tanggal 31 Agustus 1999. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan hukum transisi pemisahan kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Undang-undang Nomor 35 tahun 1999  mengubah pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, di mana Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan MA. Namun demikian pada saat itu status kepegawaian para hakim secara struktural belum benar-benar terpisah dari lembaga eksekutif sebab para hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan tunduk pula pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Tahun 2000 MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000.  MPR membuat rekomendasi kepada MA agar segera melaksanakan Undang-undang  Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan MA  perlu memantapkan kemandirian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan MA bebas dari KKN. MPR kembali mengeluarkan rekomendasi serupa pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001.
Tahun 2004 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri merupakan masa pemisahan lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif secara lebih tegas, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disusun hampir bersamaan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor  8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor  9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pada tahun 2006 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan Peradilan Militer tetap diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 termasuk dalam rangka menyesuaikan dengan amandemen UUD 1945 dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi.  Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan pelaksanaan pemisahan struktural lembaga peradilan dari kekuasaan eksekutif maka pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004, dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004, dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, terjadi konflik hukum antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudiasial yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal kepada para hakim berdasarkan UUD 1945. Para Hakim Agung mengajukan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 005/PUU/2006 menyatakan pasal 34 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 dan ketentuan pengawasan hakim dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila berkenaan dengan pengawasan kepada kepada Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sempat menuai kecaman dan menjadi polemik hukum sebab Mahkamah Konstitusi dianggap memangkas wewenang konstitusional Komisi Yudisial berdasarkan pasal 24 B ayat (1) UUD 1945. Hakim yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut diartikan hakim secara keseluruhan sehingga termasuk Hakim Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi bahan untuk menyusun perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada tahun 2009 diterbitkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini secara lebih tegas dinyatakan bahwa para hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara (pasal 19) sehingga bukan lagi menjadi PNS biasa. Konsekuensinya, kedudukan para hakim tidak lebih rendah atau sejajar jika dibandingkan presiden dan para anggota lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Dalam Bab VI Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan adanya bentuk pengawasan para hakim. Para hakim pengadilan yang berada di bawah MA berada dalam pengawasan internal MA dan dalam pengawasan eksternal Komisi Yudisial. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam undang-undang ini tampaklah adanya politik hukum negara yang mengembalikan wewenang Komisi Yudisial yang juga berwenang mengawasi Hakim Agung selain para hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal 32 A ayat (2) yang menentukan bahwa pengawasan eksternal para Hakim Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Namun demikian wewenang konstitusional Komisi Yudisial masih tidak utuh sebab politik hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tetap tidak memberikan akses pengawasan Komisi Yudisial kepada para hakim Mahkamah Konstitusi. Artinya, dalam hal ini masih terjadi inkonstitusionalitas dengan cara mereduksi wewenang Komisi Yudisial tersebut. Untuk itu maka Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 membuat perbedaan istilah antara “hakim” dengan “hakim konstitusi” sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 5 dan 7.
Selain adanya perubahan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, juga terjadi beberapa perubahan undang-undang di bidang peradilan. Apabila diuraikan, struktur badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.          Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
b.         Mahkamah Agung membawahi badan-badan peradilan:
-       Peradilan Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009.
-       Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
-       Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
-       Peradilan Militer masih tetap dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997.
Selain itu terdapat badan-badan peradilan khusus, antara lain:
Peradilan khusus di bawah Peradilan Umum, yaitu:
-       Pengadilan Anak berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
-       Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.
-       Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009.
-       Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009.
-       Pengadilan Industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.
-       Pengadilan Niaga yang belum diatur dalam undang-undang tersendiri, semula dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang selanjutnya diganti dengan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta dalam berbagai undang-undang tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Peradilan khusus lainnya di bawah Peradilan Tata Usaha Negara yakni Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002. Sedangkan Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di dua lingkungan peradilan, yaitu: peradilan khusus di bawah lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama dan peradilan khusus di lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum (pasal 3A ayat (2) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009).
Pada masa Orde Reformasi kekuasaan lembaga yudisiil benar-benar terlepas dari kekuasaan eksekutif. Prof. Muchsin mengistilahkan keadaan tersebut sebagai peradilan satu atap yang implikasinya mengharuskan adanya pengembangan, peningkatan profesionalisme para hakim serta perbaikan sarana dan prasarana pengadilan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga pengadilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.[18]
Memang, kini dalam praktiknya ketika MA kurang mampu dalam melakukan kontrol internal dan Komisi Yudisial kekurangan tenaga dalam kontrol eksternal, kekebasan kekuasaan kehakiman telah membuahkan peradilan yang liberal. Dalam kasus-kasus yang melibatkan korporasi besar ada kecenderungan pengadilan Indonesia tidak memperhatikan keadilan sosial tetapi lebih melindungi investor. Sebagai contoh pada kasus pencemaran lingkungan di Buyat Sulawesi Tenggara, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, kasus divestasi saham Rio Tinto di Kalimantan Timur. Banyak pula pandangan miring masyarakat kepada pengadilan yang seringkali berlaku tidak adil kepada rakyat kecil yang sedang berhadapan dengan hukum.
Lembaga yudisiil Indonesia meski telah bebas merdeka dari kekuasaan lain secara fungsional dan struktural, tetapi masih belum merdeka dari intervensi uang. Maka selanjutnya yang dibutuhkan adalah membangun sistem pengawasan dan penegakan kode etik hakim.

C.         PENUTUP

1.         Kesimpulan

Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari ajaran Trias Politica, di mana kekuasaan lembaga yudisiil terpisah dengan lembaga-lembaga lainnya dalam suatu negara. Implementasi pemisahan kekuasaan kehakiman dengan lembaga lainnya di negara Indonesia baru terwujud pada era Orde Reformasi, namun masih terdapat masalah baru berupa ketidakbebasan para hakim dari intervensi uang yang indikasinya tampak dari kecenderungan keberpihakan para hakim kepada para penguasa modal dan mengabaikan keadilan sosial.

2.         Saran

Fungsi pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial hendaknya dikembalikan berdasarkan UUD 1945, selain kewenangan mengawasi para hakim di lingkungan MA juga mengawasi para hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Komisi Yudisial harus melanjutkan dan memperkuat sistem jejaring masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Fungsi pengawasan internal oleh MA dan Mahkamah Konstitusi juga perlu diperkuat dengan membentuk tenaga khusus di bidang pengawasan oleh para hakim yang tidak ditugasi merangkap menangani perkara sehingga pengawasan akan lebih fokus dan konsisten.


[1] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III, Siguntang, Jakarta, 1960, hal. 798.

[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI, 1988, hal. 151.

[3] Ibid, hal. 152.

[4] M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986, hal. 63.
[5] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. Ketiga, 1991, hal. 58-59.

[6] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Ketujuh, 1986, hal. 60-61.
[7] MR. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. hal. 5.

[8] Ibid, hal. 5-6.

[9] Ibid, hal. 6-8.
[10] Ibid, hal. 10-14.

[11] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung, Edisi Kedua, Cet. Ketiga, 1996 hal. 34-43.

[12] Ibid, hal. 55.

[13] Ibid, hal. 57.
[14] Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.

[15] Ibid.
[16] Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.
[17] Ibid.
[18] H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary) Sesudah Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010, hal. 116.

No comments:

Post a Comment