Tuesday, March 15, 2011

Edukasi Pembebasan: Membangun Daya Saing Generasi

ABSTRAK:

Daya saing generasi Indonesia dibangun melalui sistem edukasi pembebasan, melenyapkan dehumanisasi dan keterjajahan dalam sistem pendidikan. Caranya adalah melakukan penataan dan pembaharuan struktur, tata kehidupan kampus, model kepemimpinan, kulturalisasi teknologi informasi, entrepreunerisasi, serta melaksanakan pendidikan luar sekolah dengan memertemukan kampus dengan kampung. Tak lupa menanamkan patriotisme untuk mengglobalkan nilai-nilai Indonesia dalam menghadapi universalisasi nilai Barat.

  1. LATAR BELAKANG

Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan bahwa berbagai bencana yang terjadi di negara ini akibat dari pendidikan yang buruk. Penyebabnya adalah: Pendidikan kita terlalu awal mendewa-dewakan sains dan matematika, tapi menelantarkan kemampuan-kemampuan berbahasa sebagai alat berkomunikasi yang sehat, kemampuan mengolah rasa melalui seni, dan kemampuan disiplin mengikuti aturan bersama (sportivitas) melalui bermain dan pendidikan olahraga.[1]
Penulis akan melihat persoalan pendidikan tersebut dalam ruang yang lebih luas, berkaitan dengan imperialisme modern untuk menguasai dunia, termasuk infiltrasi keilmuan melalui pendidikan, universalisasi nilai Barat. Padahal, di sisi lain kita dihadapkan pada mentalitas terjajah bangsa Indonesia. Bisa jadi keterpurukan Indonesia karena mental terjajah tersebut, tidak mampu keluar dari jerat neoimperialisme, ketika perang global mengarah pada soft war (perang kemampuan intelektual) untuk menggantikan peran senjata fisik ketika dunia diikat oleh hukum humaniter.
Apabila sejarah dunia dibentangkan, kehidupan manusia di bumi dari waktu ke waktu dipenuhi dengan peperangan. Kitab Mahabarata dan Ramayana mengisahkan pertarungan golongan kanan dengan golongan kiri, dalam latar belakang sejarah India sebelum masehi di India. Sejarah dunia mencatat perang Babilonia melawan Assiria (606 SM), Persia melawan Yunani (492, 490, 480 SM), Mecedonia melawan negara-negara sekitarnya (338-323 SM), terus berlanjut hingga Nabi Isa lahir dan setelahnya terjadi Perang Salib (1096-1291 M), perang antara negara-negara Eropa, terus berlanjut sampai  Perang Dunia I (1914-1918) berlanjut pada Perang Dunia II (1939-1945), berlanjut dengan perang kemerdekaan di Asia-Afrika.[2]
Setelah itu perang kepentingan Barat masih terjadi di Timur Tengah (Perang Teluk), Palestina, Afghanistan. Di abad ini, perang kepentingan bangsa-bangsa di dunia dinamakan sebagai Perang Modern. Globalisasi hanyalah istilah lain dari Perang Modern itu. Indonesia pun tak luput dari serangan Perang Modern tersebut.
SESKOAD menerbitkan buku berjudul “Bangsa Indonesia Terjebak Perang Modern”.[3] Dalam buku tersebut, Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa akibat serangan dahsyat Perang Modern tersebut orang Indonesia terkotak menjadi tiga kelompok, yaitu:
(1)   Tidak tahu apa yang sedang terjadi (masyarakat awam);
(2)   Tahu, tetapi tidak sadar atau tidak menyadari bahwa bangsa ini telah berada dalam jebakan pihak musuh / asing (kebanyakan kaum intelektual); dan
(3)   Tahu, sadar, tetapi berkhianat menjadi agen asing (komprador).
Apa yang dikemukakan Jenderal Ryamizard tersebut benar adanya, meskipun di luar tiga kelompok tersebut masih ada kelompok keempat dan kelima, yaitu:
(4)   Tahu, sadar, tidak berkhianat, tapi tidak melakukan apa-apa, membiarkan diri dan bangsanya terjajah; dan
(5)   Tahu, sadar dan sedang melakukan ‘perlawanan’ guna memertahankan Indonesia dari serangan asing tersebut.
Kelompok kelima tersebut jumlahnya juga tak kalah besar dengan kelompok kedua. Sedangkan kelompok kelima dan ketiga jumlahnya sedikit. Dari kelima kelompok tersebut, kelompok kesatu hingga keempat merupakan masyarakat dengan mentalitas terjajah, yang di dalamnya terdapat banyak intelektual yang mamunyai daya saing secara personal, tetapi tidak berpikir besar untuk bagaimana bangsa Indonesia bersaing dalam Perang Modern tersebut.
Genderang perang untuk menguasai Indonesia sudah ditabuh sejak lama ketika Bung Karno menjadi isolasionis Indonesia. Jefrey Winters mengatakan adanya skenario Barat setelah Soekarno dijatuhkan. Ia berkata berkata:
... Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi;... Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia... [4]

Indonesia memang menjadi target untuk dikuasai Barat dalam Perang Modern. David Ransom (2006) meneliti:[5]
“Sebagaimana  dapat  diikuti  dalam  cerita-cerita  tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah daerah yang paling menggoda  bagi  para  “petualang”  dan  pencari  kekayaan/kebahagiaan.  Mereka  menganggap  Indonesia  sebagai “hadiah  yang  terkaya  bagi  penjajah”  di  dunia.  Presiden Amerika  Serikat  Richard  Nixon  pada  tahun  1967,  mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara.”

Setelah Soekarno dijatuhkan dan rezim Orde Baru berkuasa tampaklah benar adanya ‘pembagian kamar’ pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia untuk Barat, dari Aceh hingga Papua. Masuknya pemodal asing tidak membuahkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia, tapi menimbulkan penghisapan. Mubyarto menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur derajat penghisapan kekayaan Indonesia oleh asing tahun 1996 dan 2002. Propinsi-propinsi kaya, yaitu Aceh dihisap produksinya 81 persen, Riau 84 persen, Kalimantan Timur 89 persen, dan Papua 82 persen. Bahkan Jakarta dihisap sampai 78 persen oleh pemodal asing. Artinya, rakyat Aceh hanya kebagian 19 persen dari 100 persen produksi daerahnya, begitu pula rakyat Riau hanya kebagian 16 persen, Kalimantan Timur 11 persen, Papua 18 persen dan rakyat Jakarta hanya menikmati 22 persen dari produksi daerah Jakarta.[6]
Dalam Perang Modern tersebut, yang dihadapi Indonesia sesungguhnya adalah pemerintahan negara (asing) yang didominasi atau dikendalikan oleh korporasi atau disebut korporatokrasi. Ekonom Amerika Serikat (AS) bernama David Korten dalam buku When Corporations Rule The World mengatakan bahwa dunia sedang dikuasai oleh tirani korporasi. Korten tidak percaya dengan pemerintahan besar dan bisnis besar, terutama jika korporasi besar mendapatkan kekuatan untuk menguasai pemerintah dan mulai menghancurkan rakyat, lingkungan hidup dan tidak memenuhi kebutuhan siapapun. Tak seorang liberal atau konservatif pun dapat melakukan itu.[7]
John Perkins, seorang economic hit man (EHM) dalam Confessions of An Economic Hit Man mengaku bahwa korporatokrasi yang lahir dan berkembang di Amerika berani membayar sangat tinggi seorang EHM seperti dia dengan misi rahasia, membuat negara-negara kaya minyak seperti Indonesia agar mendapatkan utang sebanyak-banyaknya dari Amerika, terutama melalui Bank Dunia dan International Monetery Fund (IMF), sampai benar-benar tidak mampu membayarnya kembali agar masuk dalam perangkap the global empire, sehingga keamanan nasional AS terjamin. Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka jalan terakhir adalah invasi militer seperti di Panama (1989) dan Irak (2003).[8]
Johan Galtung, tokoh pendamai dari AS juga mengatakan bahwa perang menjadi tradisi AS, rata-rata setahun sekali menggunakan senjata fisik, dengan alasan: melindungi warga negara dan kepentingan ekonominya di luar negeri. Termasuk Inggris yang juga berpartisipasi dalam Perang Teluk.[9]
Dengan demikian, dalam Perang Modern tersebut lawan Indonesia adalah kepentingan kekuasaan ekonomi Barat yang didukung oleh struktur kekuasaan negara-negara Barat, terutama AS dan sekutu-sekutunya. Di dalamnya ada agenda korporasi multinasional yang menggunakan rezim hukum nasional Barat yang diuniversalisasi sebagai hukum global, yang lazim disebut globalisasi.
Indonesia juga terpaksa telah terperangkap dalam Perang Modern tersebut, dan bahkan secara faktual telah mengalami ketertindasan dengan terhisapnya produksi SDA Indonesia oleh kekuatan asing. Bencana banjir, longsor serta perusakan maupun pencemaran lingkungan hidup terjadi karena kebijakan politik Indonesia terjajah oleh kepentingan pemilik kapital, melakukan konversi lahan dan reklamasi pesisir secara serampangan untuk kepentingan industri dan pemukiman megah, mengabaikan kepentingan rakyat Indonesia sendiri. Itulah kondisi mentalitas terjajah bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pendidikan Indonesia harus diarahkan pada konsep edukasi pembebasan, untuk membangun kebangkitan Indonesia. Gagasan mewujudkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang merdeka, bermoral dan tangguh, penting diwujudkan melalui pendidikan. Pendidikan tidak sekadar meningkatkan kemampuan intelektualitas, tapi juga membangun kemerdekaan intelektual, kesadaran tanggung jawab sebagai bagian dari Indonesia dan alam, sehingga kelak bangsa Indonesia akan mudah untuk memenangkan Perang Modern atau globalisasi tersebut.
Namun, setelah Indonesia menjadi pemenang, humanisme harus tetap tegak, tidak kemudian balik menjajah bangsa lain. Maka, pendidikan perlu menanamkan dan membangun watak humanis kepada manusia Indonesia. Hal itu sesuai dengan ideologi Pancasila yang selama ini justru dijadikan alat politik untuk menindas bangsa sendiri, dalam mentalitas pemerintahan yang terjajah. Meski Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003 menentukan adanya prinsip kebebasan mimbar akademik, namun tampaknya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.

B.    STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1 angka 1 UU No. 20/2003).
 Definisi yuridis pendidikan tersebut dirumuskan secara negatif, menempatkan ‘manusia’ berketerampilan produk pendidikan sebagai subyek yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, manusia terdidik Indonesia baru akan berperan untuk masyarakat, bangsa dan negara jika dibutuhkan atau dipanggil untuk dimanfaatkan keterampilannya.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut pasal 4 UU No. 20/2003 adalah:
a.       Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b.      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c.       Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d.      Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e.       Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
f.       Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
 Secara normatif (das sollen), prinsip-prinsip tersebut cukup ideal. Namun pada kenyataannya (das sein) Indonesia memunyai beberapa problem pendidikan, diantaranya soal demokrasi pendidikan serta pemberdayaan sivitas akademika, yang menjadi ganjalan dalam mewujudkan SDM Indonesia yang memunyai daya saing dalam kancah global. Ada masalah otoritarian kampus, ketidakmampuan eknomi, serta pengekangan struktural oleh negara.
Selain itu juga ada budaya buruk pendidikan yang masih sulit dikikis, yaitu: ‘menyiapkan siswa produk pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pasar’ dengan menciptakan mental buruh pada para siswa, menganggap pelajaran lebih penting dibandingkan para siswa, memasung kreatifitas dan kebebasan untuk menemukan nilai.
Apa yang kita alami dalam praktik pendidikan di Indonesia tersebut adalah sebuah fenomena seperti yang dikatakan Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka memertahankan dan memroduksi kemapanannya alias status quo.[10]
Kemajuan kelas dominan dengan jalan membiarkan marjinalisasi kaum lainnya dalam sebuah negara akan berakibat pada lemahnya kekuatan negara itu untuk menghadapi arus tekanan asing, sebab rapuhnya kesatuan nasional. Akhirnya kelompok dominan dalam sebuah negara hanya menjadi alat asing untuk menindas bangsa yang rapuh tersebut.

Humanisasi

Anita Lie dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala, mengatakan bahwa salah satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional adalah dehumanisasi.  Anita Lie melihat saat ini peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis. Salah satu contoh nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting daripada siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur dari nilai peserta didiknya. Gejala dehumanisasi ini bermula dari budaya ketakutan yang tercipta dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Ketakutan itu dialami guru terjadi secara multidimensional. Ketakutan terhadap terhadap sistem dengan segala perangkatnya yang diselenggarakan lembaga yang berkuasa. [11]
Politik menciptakan sistem pendidikan nasional yang mengekang gagasan pembaharuan, seperti misalnya sentralisasi ujian yang menentukan lulus tidaknya siswa hanya berdasarkan soal-soal ujian yang tidak dapat mengukur secara adil tentang bagaimana tingkat kematangan spiritual keagamaan, moral (akhlak mulia), kepribadian, pengendalian diri serta keterampilan para siswa yang menjadi maksud sistem pendidikan nasional itu sendiri. Pendidik dan siswa yang berada dalam situasi terkekang, akibat dehumanisasi, akan mengukuhkan mentalitas terjajah.
Mentalitas terjajah juga bisa tertanam karena model pendidikan yang sengaja mendesain karakter sosial yang terjajah. Hal itu juga berkaitan dengan kekhawatiran adanya infiltrasi kebudayaan Barat yang dapat merusak mental bangsa Indonesia. Samuel Zwemer pada Muktamar Kristen di Quds tahun 1953 melontarkan pernyataan yang memuat ciri mentalitas terjajah. Zwemer berkata: “... Kelak akan datang suatu generasi yang mentalnya persis yang dikehendaki penjajah. Generasi tersebut tidak peduli terhadap masalah-masalah besar, tetapi suka bersantai-santai dan malas. Dengan demikian apabila ia melakukan sesuatu, hanya karena ingin popularitas....”[12]
Mentalitas terjajah yang diidap SDM Indonesia juga terbukti dari tidak efektifnya pembangunan untuk menyejahterakan rakyat padahal Indonesia merupakan negara yang sangat kaya. Sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka menulis bahwa meskipun suatu negara mempunyai cukup SDA untuk pengembangan teknologi, tapi kalau lemah semangat rakyatnya, lemah intelektualnya, tidak bersatu dan tidak merdeka maka negara itulah yang akan menjadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa.[13]                       
Inilah yang sedang terjadi di Indonesia di mana jarang sekali kita melihat adanya generasi yang peduli dengan masalah-masalah besar, utamanya untuk memikirkan upaya Indonesia agar keluar dari perangkap imperialisme modern. Tetapi yang tampak justru sebaliknya di mana ada banyak kemewahan, foya-foya, orang bersenang-senang dengan kemampuan mereka, tetapi membiarkan  kemiskinan di sekeliling mereka tumbuh dan tertindas. Bagi para pejabat penguasa kampus, lembaga pendidikan malah dijadikan alat untuk berbisnis untuk keuntungan pribadi atau golongan mereka.
Dengan mentalitas terjajah tersebut bangsa Indonesia miskin para pemikir masalah besar negara sehingga sistem pendidikan nasional Indonesia melahirkan banyak koruptor, termasuk mafia peradilan dalam penegakan hukum, bahkan ada kecenderungan terlibatnya para guru besar masuk ke dalam lingkaran bisnis kecurangan ilmiah dengan memberikan keterangan ahli sesuai dengan pesanan, tidak lagi merdeka berdasarkan obyektivitas keilmuan sejati. Maka lahirlah pemerintahan oligarki, yang pengaruhnya juga merembes ke kampus-kampus. Jadilah lingkaran setan yang tak berujung.
Untuk itulah diperlukan pembaharuan sistem dengan strategi edukasi pembebasan, dalam rangka humanisasi dalam sistem pendidikan. Edukasi pembebasan adalah model pendidikan yang berupaya memerdekakan SDM Indonesia dari mentalitas terjajah, dalam rangka memerdekakan bangsa Indonesia dalam imperialisme modern dan tampil sebagai pemenang dalam Perang Modern yang bernama globalisasi. Dalam edukasi pembebasan harus ada kegiatan akademik tanpa pengaruh ketakutan ancaman tindakan represif, baik dari para pejabat struktural kampus, pendidik maupun pemerintahan. Tidak juga ada pengaruh ancaman siswa kepada sivitas akademika.
Pada dasarnya edukasi pembebasan sejak lama diterapkan di Barat yang lebih maju. Di akhir abad XVII, filsuf Inggris, Thomas Hobbes dan John Locke memimpin gagasan demi terwujudnya edukasi pembebasan (academic freedom).  Universitas Halle dan Göttingen di Jerman didirikan tahun 1694 dan 1737, merupakan univeritas Eropa yang pertama yang meletakkan dasar academic freedom. Universitas Berlin berdiri tahun 1810 mengenalkan doktrin Lehr- und Lernfreiheit (kebebasan belajar dan mengajar) dan membantu menguatkan posisi Jerman sebagai pemimpin kebebasan akademik di abad ke-19. Pada abad ke-18 dan 19 berbagai universitas di Eropa Barat dan AS menikmati peningkatan kebebasan akademik.[14]
Edukasi pembebasan memerlukan penataan dan pembaharuan, baik dari segi struktur maupun tradisi pendidikan. Strategi edukasi pembebasan yang penulis tawarkan adalah pembaharuan tradisi pendidikan (edukasi) melalui:
a.           Perubahan tata cara kehidupan kampus/sekolah;
b.          Reformulasi model kepemimpinan dalam suatu kampus atau sekolah;
c.           Kulturalisasi tekonologi informasi; dan
d.          Entrepreneurisasi pendidikan.
e.           Pendidikan alternatif luar sekolah.

Perubahan tata kehidupan kampus   

Selama ini, norma akademik yang disusun sebagai acuan tata kehidupan kampus atau sekolah diciptakan dan ditegakkan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Misalnya peraturan tata kehidupan kampus dibuat oleh otoritas yang dalam banyak hal tidak diketahui atau dipahami oleh para siswa atau mahasiswa (selanjutnya disebut siswa). Tata kehidupan kampus dibuat secara mengelompok, sendiri-sendiri, dalam bentuk peraturan dosen, peraturan siswa dan peraturan karyawan tunduk pada peraturan yang disusun secara otoriter oleh otoritas pengelola kampus yang dikuasakan kepada struktur kepengurusan sekolah atau kampus.
Penegakan peraturan-peraturan atau hukum kampus tersebut dilakukan secara otoriter, tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk memeroleh penyelesaian yang solutif dalam masalah-masalah ketidakmampuan siswa. Ada contoh kasus di sekolah di mana para siswa yang tidak mampu membayar uang sekolah diberikan sanksi akademik tanpa melalui proses pembelaan yang adil, misalnya tidak boleh mengikuti ujian atau dilarang mengikuti proses belajar di semester berikutnya.
Penegakan tata kehidupan kampus dengan tafsir subyektif oleh otoritas pendidikan juga terjadi dengan contoh kasus pemberian sanksi berupa pencabutan status sebagai siswa dalam waktu tertentu (skorsing) kepada tiga siswa ITS yaitu: Yuliani, Tomy Dwinta Ginting dan Benny Ihwani pada tahun 2007. Tiga mahasiswa ITS tersebut menjadi korban akibat unjuk rasa di dalam kampus bersama sekitar 25 siswa ITS lainnya dan beberapa korban semburan lumpur Lapindo. Mereka mengritik ITS yang dianggap telah berhubungan terlalu dekat dengan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) dengan suatu hubungan bisnis, padahal Lapindo diduga bersalah dalam kasus tersebut sehingga merugikan masyarakat secara ekonomi, sosial, psikologi dan budaya. Hal serupa juga terjadi tahun 2007 di kampus Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jawa Timur ketika sekitar 100 mahasiswa melakukan aksi menolak kebijakan kampus yang mewajibkan seluruh sivitas akademika harus membuka rekening pada Bank Muamalat, di mana koordinator aksinya diberikan sanksi skorsing oleh Rektor.
Penulis juga didatangi dua orang dosen ITS dan seorang karyawan ITS dari Forum Dosen Untuk Membangun Lebih Maju Politeknik Perkapalan ITS yang membawa surat dukungan untuk adanya ‘reformasi’ di ITS sebab menurut mereka ITS sering digunakan sebagai ajang bisnis oleh para pejabat strukturalnya. Ketika penulis meminta mereka agar tuntutan reformasi kampus dilakukan secara bersama-sama secara terbuka maka dosen dan karyawan tersebut ‘tidak berani’ atau takut, khawatir dengan kebiasaan tindakan represif (pemberian sanksi) di ITS, sebab sudah ada dua orang dosen yang dipecat.
Dalam tahun 2007 penulis pernah berdiskusi dengan beberapa siswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan pedagang kecil penyewa stan di Kampus C Unair Surabaya, ternyata mereka menunjukkan surat perjanjian ganda yang disusun oleh pejabat dekanat di Kampus C tersebut. Kontrak ganda tersebut terdiri dari kontrak yang berisi besarnya uang sewa yang berbeda. Tentu saja hal tersebut merupakan penyimpangan dalam bisnis akademik. Para siswa juga memberikan keterangan bahwa ada dugaan kesengajaan penghilangan data-data di komputer berkaitan dengan pengelolaan dana bantuan lembaga asing dengan modus pencurian komputer. Ketika penulis menawarkan kerjasama untuk membongkar kasus tersebut para siswa itu tidak berani sebab takut dengan nasibnya sebagai siswa yang berposisi rentan, mudah diberi sanksi.
Beberapa contoh ketidakmerdekaan atau dehumanisasi di kampus atau sekolah dapat dilihat berikut ini.
No.
Kasus
Kampus
Tahun
Asal/sumber data

1.

Tiga siswa diskorsing 6 bulan karena unjuk rasa kasus lumpur Lapindo

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

2007

Wawancara dengan dokumen
2.
Hukuman fisik (pemukulan, larangan mengikuti pelajaran sementara) siswa
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) I Bojonegoro
2006
Wawancara dengan surat
3.
Pemberian sanksi pemecatan dengan seorang hormat terhadap 2 (dua) orang dosen yang menuntut perubahan kampus
ITS Surabaya
2006
Wawancara dengan dokumen
4.
Pembentukan Forum Dosen Untuk Membangun Lebih Maju Politeknik Perkapalan ITS karena penyimpangan oleh pejabat struktural kampus.
ITS Surabaya
2006
Wawancara dengan dokumen
5.
Pemberian sanksi pencabutan status siswa (DO) terhadap 2 (dua) siswa.
SDN 003 Sidomulyo Riau
2008
Liputan6 SCTV, 07/02/2008, jam 05:50
6.
Penarikan uang masuk sekolah Rp. 1,4 juta kepada siswa anak orang tidak mampu.
SMAN I Pekalongan
2006
Suara Merdeka,  21/09/2004
7.
Penarikan uang masuk sekolah Rp. 1,2 juta kepada siswa anak orang tidak mampu.
SMPN 17 Pondok Gede Bekasi
2007
Antara, 17/09/2007.
8.
Penahanan 18 ijasah siswa karena belum mampu bayar uang ujian akhir semester dan uang perpisahan Rp. 150 ribu.
SDN CIGADUP IV Banten.
2007
Antara, 04/07/2007.
9.
Tiga siswa terancam DO karena belum mampu membayar uang BP3 Rp. 500 ribu/tahun.
MAN Kandai Dua Dompu, NTB.
2007
Suara NTB, 13/02/2007.
10.
682 orang siswa tidak mampu terancam DO
Institut Pertanian Bogor (IPB).
2007
www.kapanlagi.com, 4/11/2007.
11.
Siswa yang belum mampu membayar uang sekolah diberi sanksi tidak diperkenankan mengikuti studi.
ITS Surabaya
2007
Wawancara
12.
PHK karyawan honorer tanpa alasan jelas.
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
2007
Wawancara
13.
Seorang siswa koordinator aksi demo 100 siswa diberikan sanksi skorsing.
Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan
2007
Wawancara
Maka tata kehidupan kampus harus diformulasikan secara lebih adil. Harus ada ketentuan dalam tata kehidupan kampus yang melarang pemberian sanksi terhadap siswa ataupun anggota sivitas akademika yang tidak mampu memenuhi kewajiban karena faktor di luar kesalahan mereka dan terhadap siswa atau anggota sivitasakademika lainnya yang melakukan suatu kegiatan atau perbuatan yang sifatnya mengritik kebijakan otoritas kampus intern ataupun luar kampus, atau sedang atau membantu pengusutan terhadap dugaan penyimpangan di kampus mereka. 
Tata kehidupan kampus juga harus dirumuskan dalam satu bentuk Peraturan Kampus yang disusun secara demokratis, yang cara penegakan aturan tersebut berkaitan dengan reformulasi model kepemimpinan berikutnya ini.

Reformulasi kepemimpinan

Kampus harus ditata ulang, menjadi miniatur sebuah negara demokratis, di mana para pimpinan strategisnya dipilih melalui pemilihan yang demokratis dalam kampus masing-masing. Rektor yang dipilih bisa diajukan oleh masyarakat melalui proses seleksi oleh penyelenggara pendidikan, tetapi tidak menentukan hanya sebuah nama, misalnya minimal 10 orang calon. Selanjutnya 10 calon tersebut melakukan presentasi di kampus yang bersangkutan untuk menjelaskan visi dan misinya serta melakukan diskusi dan perdebatan dengan sivitasakademika yang dipimpin oleh sebuah Dewan Akademik. Setelah itu baru dilakukan pemungutan suara. Hal demikian berlaku dalam memilih Dekan maupun Pimpinan Program.
Untuk mengubah tradisi kepemimpinan otoriter dalam kampus (yang dapat memasung kemerdekaan intelektual) maka harus dibentuk sebuah lembaga kepemimpinan demokratis yang mewakili pendidik, siswa dan karyawan. Lembaga tersebut adalah Dewan Akademik tersebut. Dewan Akademik beranggotakan 9 orang yang berasal dari 3 orang wakil siswa, 3 orang wakil pendidik dan 3 orang wakil karyawan kampus. Dewan Akademik bertugas diantaranya menyelenggarakan konggres sivitas akademika untuk merumuskan sebuah peraturan tata kehidupan kampus yang mengatur hak dan kewajiban seluruh anggota sivitasakademika. Peraturan tata kehidupan kampus yang telah disepakati dalam konggres sivitas akademika diformalkan dalam bentuk Peraturan Kampus yang ditanda tangani Rektor atau Kepala Sekolah dan Ketua Dewan Akademik.
Dewan Akademik juga berwenang menyelesaikan soal pelanggaran peraturan tata kehidupan kampus, dengan melakukan pemeriksaan dan memutuskan persoalan tersebut, mengeluarkan rekomendasi agar Rektor atau Kepala Sekolah memberikan sanksi atau merehabilitasi tuduhan yang tidak terbukti. Rektor atau Kepala Sekolah wajib melaksanakan rekomedasi Dewan Akademik tersebut. Dalam melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran terhadap Peraturan Kampus maka Dewan Akademik diberi wewenang untuk membentuk tim penyelidik ad hoc jika diperlukan. Proses pemeriksaan kepada anggota sivitasakademika (pendidik, siswa, atau karyawan) harus memberi hak pembelaan, bahkan bebas menggunakan tenaga advokasi pendidikan yang tidak harus seorang advokat.
Dewan Akademik dalam fungsinya menegakkan peraturan kampus juga memberikan pertimbangan-pertimbangan dan rekomendasi terhadap masalah-masalah pelanggaran kewajiban pembayaran uang sekolah dan lain-lain yang diwajibkan, untuk mencegah agar kampus tidak secara subyektif dan sewenang-wenang memberikan sanksi akademik terhadap siswa yang tidak mampu.
Sedangkan reformulasi model kekuasaan otoritas pendidikan di kampus atau sekolah dilakukan, selain membentuk Dewan Akademik tersebut juga membagi kekuasaan Rektor atau Kepala Sekolah. Rektor atau Kepala Sekolah, Pembantu Rektor, Dekan, Pembantu Dekan atau Direktur Program serta jabatan struktural strategis pengambil keputusan dalam menyusun kebijakan mereka diwajibkan untuk berkonsultasi dengan Dewan Akademik. Hal tersebut untuk menghindari penyalahgunaan wewenang jabatan.
Di kampus-kampus juga rawan penyelewenangan dalam penerimaan tenaga kerja, termasuk para honorer. Praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak juga menjadi masalah tersendiri. Dengan adanya Dewan Akademik maka penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa dicegah.
Berkaitan dengan kepentingan kampus, peraturan kampus hendaknya memberikan hak kepada para anggota sivitas akademika untuk mengajukan permintaan pemeriksaan terhadap masalah-masalah kampus yang ada. Setiap tindakan pemeriksaan yang dilakukan Dewan Akademik dilaporkan secara terbuka melalui media yang ada di kampus dengan memberikan hak kepada para anggota sivitas akademika untuk memberikan tanggapan atau sanggahan.
Ke depan, untuk tidak terjebak masuk ke dalam kultur korup lembaga pengadilan Indonesia maka terhadap keputusan-keputusan atau rekomendasi Dewan Akademik yang tidak disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam sengketa akademik maka perlu dibentuk Arbitrase Pendidikan yang struktur lembaga serta keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur masyarakat pendidikan: perwakilan dari organisasi siswa, organisasi pendidik, organisasi advokasi pendidikan, unsur pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan serta masyarakat peduli pendidikan. Tentunya harus didasarkan dengan amandemen UU No. 20/2003 atau sebelum itu dilaksanakan dapat disusun dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dalam rangka melaksanakan prinsip penegakan kebebasan mimbar akademik menurut pasal 24 UU No. 20/2003 serta prinsip-prinsip pendidikan yang dimaksudkan pasal 4 UU No. 20/2003.
Tradisi demokratisasi kepemimpinan kampus atau sekolah diikuti dengan perubahan tradisi atau metode belajar-mengajar di mana pendidik agar lebih memancing daya pikir para siswa, mendengarkan pendapat mereka, membuat simulasi-simulasi, diskusi, serta penggunaan media video, audio, internet dalam proses pergulatan ilmiah dalam kampus, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk melakukan refleksi kritis, menyampaikan gagasan, bahkan turut mengevaluasi metode belajar. Di dalam kelas-kelas ada proses humanisasi, merangsang gagasan baru dan inovasi bahkan invensi. Edukasi pembebasan dilaksanakan dalam rangka mengembangkan tradisi akademik yang demokratis, dengan target membebaskan SDM Indonesia dari mentalitas terjajah.
Pelestarian model edukasi tirani menyebabkan terwarisinya tradisi terjajah-menjajah dalam diri bangsa Indonesia sehingga Indonesia terus lemah dan mudah masuk perangkap imperialisme baru dalam Perang Modern. Emile Durkheim, sosiolog Perancis membuktikan bahwa pola pikir kehidupan seseorang dibentuk oleh masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi.[15]  Johan Galtung juga mengatakan bahwa orang membunuh diantaranya karena ia dibesarkan dengan cara itu (membunuh).[16] Jika SDM Indonesia dididik dengan cara-cara terbelenggu dan tiran maka kelak mereka bisa melakukan hal serupa, menjajah bangsa sendiri.
Indonesia memang sedang belajar berdemokrasi dan demokrasi harus terus dibangun, termasuk melalui tradisi kepemimpinan demokratis di kampus. Suatu bangsa mencapai puncak budayanya pada saat demokrasi itu menjadi rohnya.[17] Kampus bukanlah lembaga kekerasan. Pendidikan justru bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan. Dalam keadaan bodoh itulah manusia gampang dikuasai oleh pihak luar dirinya. Tapi dalam keadaan merdeka maka inovasi dan invensi akan semakin berkembang.

Kulturalisasi tekonologi informasi

Kulturalisasi teknologi informasi (TI) merupakan proses pembudayaan penggunaan TI dalam pendidikan. Di era TI ini, hubungan antarmanusia sudah tidak lagi berbatas. TI juga menjadi sarana ampuh dalam universalisasi nilai, terutama bagi Barat. Serangan global yang dilancarkan kebudayaan bangsa-bangsa maju juga memanfaatkan TI. Bisnis pun  sudah mengarah pada online system dan di dalamnya juga terdapat ‘perang’ (persaingan). Dalam politik nasional misalnya peranan TI sangat besar dalam gerakan untuk meruntuhkan presiden Soeharto di jaman Orde Baru, sebagai salah satu media konsolidasi nasional.
Selain itu, TI juga menjadi alat untuk memercepat pertumbuhan ilmu pengetahuan (science growth). Dalam dunia maya misalnya terdapat ‘bank data’ baik itu produksi Google ataupun Yahoo dan lain-lain. Maka, kampus juga harus menjadi area tanpa batas dalam arus TI tersebut. Artinya, setiap sekolah atau kampus harus memungkinkan setiap siswa untuk mahir menggunakan TI.
TI juga menjadi ‘spionase’ bagi SDM Indonesia untuk memelajari bagaimana pergerakan bangsa-bangsa lainnya, termasuk perkembangan dunia pendidikan asing, utamanya di negara-negara maju. Tentu saja faktor penguasaan bahasa internasional, setidak-tidaknya bahasa Inggris menjadi syarat untuk memahami bahasa-bahasa TI yang berkembang.
Ketidakadilan dunia dalam globalisasi dapat dilihat dari dominasi bangsa kaya, termasuk dalam penggunaan internet. Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 memberi informasi: “By the end of the 20th century the top 20 percent received 75 times the income of the bottom 20 percent. The income gap is even apparent in cyberspace. The top fifth in income make up 93 percent of the world’s Internet users and the poorest fifth only 0,2 percent.[18]  Namun, sampai dengan 2007 tampaknya Asia mengalami pertumbuhan pesat sebagai pengguna internet, terutama Cina dan India.
Penguasaan TI menjadi penting atau kebutuhan pokok kaum intelektual untuk menyiapkan kemampuan bersaing dalam kancah global. Salah satu contohnya adalah Unair Surabaya menduduki peringkat 75 di Asia Tenggara untuk 5.000 universitas terbaik (top) versi Webometrics karena pemanfaatan ICT (Information and Communication Technologies) melalui keberadaan institutional web domains.[19]
Ketika tahun 2000 penulis berkumpul dengan anak-anak muda yang “ahli” menggunakan TI di Surabaya memperoleh informasi sebenarnya sejak tahun 1997 para mahasiswa Indonesia sudah banyak yang mahir menggunakan internet, bahkan ada kabar Indonesia, India dan Cina sempat menjadi negara-negara daftar hitam global dalam hal transaksi online internasional sebab banyak cyber crime yang muncul dari ketiga negara tersebut.
TI juga akan sangat bermanfaat dalam memudahkan penciptaan kewirausahaan (entrepreneurship) para siswa dalam bisnis online yang semakin berkembang. Banyak potensi nasional Indonesia yang dapat dikembangkan, termasuk produksi-produksi karya masyarakat lokal yang unik yang bisa dipasarkan ke luar negeri melalui TI. Selain itu, gagalnya program pengalihan teknologi dalam penanaman modal asing (PMA) di Indonesia tidak akan terlalu berpengaruh bagi Indonesia jika penguasaan TI mampu ‘mengintai’ teknologi negara-negara maju melalui komunitas-komunitas ilmiah dalam dunia virtual.

Entrepreneurisasi

Selama ini sistem pendidikan mengarahkan anak didik untuk menjadi SDM yang dibutuhkan pasar. Menyiapkan SDM memenuhi kebutuhan pasar sama halnya mendidik para siswa untuk menjadi buruh. Maka terbentuklah mentalitas subordinat, rendahan. Terbukti banyaknya lulusan sekolah yang bergantung melamar pekerjaan. Para sarjana lulusan kampus Indonesia pada umumnya bermental buruh atau pegawai. Bahkan keberlanjutan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih berlanjut dengan adanya kasus-kasus tertipunya para pencari kerja di lembaga-lembaga pemerintahan dengan membayar puluhan juta rupiah. Penyebab penting lainnya adalah tingginya suplai tenaga kerja sehingga banyak pengangguran. Maka paradigma tenaga siap pasar harus diubah dari konotasi buruh (pekerja) ke arah pelaku usaha (entrepreneur).
Kampus harus menanamkan pendidikan entrepreneurship, bukan sekedar bisnis entrepreneur individual, tapi juga kewirausahaan sosial. Ada contoh bagus yang dikembangkan Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang menggalang dana iuran Rp. 1000,-an kepada para anggotanya untuk memberikan bantuan beasiswa kepada para siswa Unair yang kurang mampu. Tetapi akan lebih bagus jika iuran tersebut termasuk didayagunakan sebagai investasi usaha yang dikelola, termasuk melibatkan para mahasiswa yang membutuhkan bantuan, sehingga tercipta entrepreneurship sosial.
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah seharusnya bisa menjadi berkah bagi bangsa Indonesia manakala rakyatnya memunyai jiwa wirausaha. Selama ini kekayaan Indonesia banyak dikelola oleh korporasi asing dalam Perang Modern dan ternyata mengakibatkan penghisapan, tidak dapat memenuhi hak konstitusional, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UUD 1945 pasal 33). Keadaan tersebut tak bisa dibiarkan berjalan terus tanpa perubahan paradigma agar model outward looking oriented diubah ke arah nasionalism resources. Itu tak akan berhasil jika Indonesia tak memunyai jiwa wirausaha. Jumlah entrepreneur di Indonesia baru ada 0,08 persen wirausaha di antara 200-an juta penduduk Indonesia, kata tokoh pengusaha Ciputra (Kompas, 29/11/2007).[20]
Pendidikan kewirausahaan dilaksanakan dalam mata pelajaran khusus, sejak sekolah dasar (SD) SD hingga perguruan tinggi. Materi pelajaran yang terpenting bertujuan membentuk spirit dan keterampilan. Spirit dibangun dengan materi sejarah kewirausahaan dalam konteks ajaran agama dan sejarah dunia serta sejarah nasional. Mendiskusikan bagaimana contohnya perdagangan pada jaman nabi-nabi dan rasul hingga pada masa kekhalifahan, hingga sekarang, dalam konteks ajaran-ajaran agama tentang pembangunan semangat bekerja keras sebagai ibadah. Spirit dan kultur kerja keras dapat dibangun melalui jalan ideologis termasuk melalui penanaman ajaran agama. Agama bisa menciptakan syariat dan fiqih entrepreneurship sebab memang tersedia untuk itu. 
Pendidikan keterampilan wirausaha dilakukan dengan memerdalam pelajaran ekonomi dengan praktik produksi dan menjual. Sejak dahulu sebenarnya sudah ada pelajaran keterampilan tangan yang menugaskan siswa untuk membuat kerajinan tangan, tetapi tidak berlanjut pada ketarmpilan untuk menjual atau memasarkan. Pola pikir para siswa harus diubah dengan memberikan contoh tentang siapa-siapa penguasa ekonomi dunia dan Indonesia. Memberikan bahan atau menugasi siswa untuk mencari bacaan tentang biografi atau kisah para pengusaha yang sukses merangkak dari bawah merupakan salah satu metode.
Dalam mengembangkan kewirausahaan kampus maka harus ada penyediaan sarana sekurang-kurangnya:
a.       Laboratorium sebagai dapur mengolah strategi, invensi dan evaluasi dari kegiatan yang telah dilakukan;
b.      Bentuk lembaga kegiatan usaha, misalnya mengefektifkan koperasi-koperasi karyawan bersinergi dengan koperasi siswa, jika perlu dilebur menjadi koperasi kampus;
c.       Jaringan masyarakat lokal untuk menemukan dan memasarkan produk-produk kreatifitas lokal masing-masing daerah;
d.      Jaringan lembaga pembiayaan pendukung;
e.       Jaringan perusahaan-perusahaan yang khusus bergerak di bidang marketing, baik konsultan ataupun pelaksana, sebelum lembaga koperasi kampus mampu secara mandiri menguasai soal pemasaran.
f.       Jaringan advokasi perlindungan pengusaha, konsumen dan lingkungan hidup untuk menghindari konflik persepsi dan akibat dalam kegiatan-kegiatan usaha.
Arbitrase Pendidikan yang penulis gagas di depan kompetensinya dapat juga menyangkut perwasitan terhadap pengelolaan usaha di kampus yang terjadi antara para pengurus atau pengelola lembaga usaha di kampus-kampus.
Menurut penulis, pendidikan kewirausahaan harus membuka cakrawala tentang potensi kelautan dan pertanian Indonesia dalam rangka menciptakan ketahanan pangan Indonesia. Dalam jangka panjang tampaknya pertanian akan berkembang ketika teknologi produksi bioenergi mulai berkembang yang pasti membutuhkan bahan-bahan dari produk pertanian. Pengembangan pertanian juga akan berkaitan erat dengan ketahanan energi Indonesia ketika teknologi bioenergi mulai menjadi keniscayaan alternatif. Pembangunan pertanian tidak hanya menciptakan ketahanan pangan tapi juga ketahanan energi nasional di masa depan. Petanipun tidak lagi dipersepsikan sebagai orang miskin seperti yang terjadi di Indonesia karena tidak adanya keseriusan dalam mengelola bidang ini, tapi menjadi entrepreuner penting dalam membesarkan negara, seperti halnya pada masa Cina di jaman Confusius bahwa kaum yang dihormati adalah pelajar dan petani. 
Di bidang kelautan pun Indonesia kaya-raya sebab sekitar 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan. Korporasi asing pun juga merambah sektor perikanan, misalnya dari Korea yang pernah penulis temui di Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Korporasi itu bisa kaya-raya mengelola ikan laut Indonesia tapi justru nelayan Indonesia kurang berhasil sebab sekitar 90 persennya menggunakan alat tradisionil. Laboratorium kampus seyogyanya mampu memberikan solusi atas persoalan tersebut, mampu menemukan teknologi produksi kelautan agar hasil lautan Indonesia tidak banyak dicuri oleh para nelayan asing yang lebih meoren, seperti selama ini terjadi. Thailand yang tidak memunyai laut bisa menjual ikan sekitar 4 miliar dollar AS setiap tahun, tapi Indonesia malah hanya sekitar separohnya. Tampaklah bahwa ketololan Indonesia memerlihatkan mental keterjajahan tersebut.
Dengan pendidikan entrepreneurship, kampus juga memetakan bakat-bakat serta kemampuan-kemampuan masing-masing siswa untuk menciptakan para specialis. Spesialisasi sangat penting dalam manajemen agar usaha-usaha atau kerja-kerja dilakukan dapat terarah pada rumus fokus dan konsisten. Alumnus sebuah kampus tidak lagi kebingungan menentukan dirinya untuk melakukan usaha atau pekerjaan bidang apa ketika sudah mengetahui bakat dan kemampuan mereka.
Konsep pendidikan humanis harus dijalankan, agar munculnya banyak mental kewirausahaan tidak bersifat individualistik yang akan menciptakan mental bangsa yang tetap terjajah. Dalam krisis ekonomi 1997 – 1999 misalnya ada indikasi pelarian kapital ke luar negeri termasuk oleh pemilik kapital Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme para pengusaha Indonesia tidak teruji.
Seorang pengusaha yang humanis tidak hanya sibuk memikirkan berapa keuntungan yang akan diperolehnya tapi juga bagaimana ia bisa mengangkat nasib orang-orang yang kurang berbakat secara alamiah. Pengusaha humanis juga tidak akan tega merusak atau mencemari lingkungan hidup yang akan merugikan sosial, merusak nasib bangsa sendiri atau bangsa lain. Kewirausahaan sosial akan tidak mengabaikan keselamatan masyarakat. Maka pendidikan pun juga termasuk mendiskusikan dan belajar tentang keselamatan manusia dan lingkungannya.
Saat ini dunia terancam oleh pemanasan global akibat kemajuan ekonomi yang timpang, tidak adil dan serakah, dalam Perang Modern yang destruktif. Para pemilik kapital hanya menuhankan uang, tapi enggan memikirkan keselamatan dunia. Saat ini setiap tahun permukaan air laut naik rata-rata 15 cm akibat pemanasan global yang mengakibatkan pencairan es di kutub bumi, bahkan memindahkan gunung-gunung es. Seorang filsuf ekonomi AS bernama David Loy menyindir kapitalisme yang menjadi agama pasar. Menurut Loy, konsep ketuhanan bukan lagi monotheism, tapi moneytheism.[21] Itu akibat dari watak entrepreneurship yang individualistis, tidak peduli terhadap nasib orang lain.
Dalam persaingan global yang tidak adil, masyarakat atau bangsa yang lemah akan dirugikan, hanya menjadi dapur usaha para korporasi raksasa dunia. Daya saing bangsa lemah akan melemah jika sebuah bangsa selalu berkutat, disibukkan  pada soal-soal keburukan nasib akibat kesembronoan sendiri. Seperti halnya Indonesia yang didera bencana kekeringan dan kebakaran hutan musim kemarau, serta banjir dan longsor di musim hujan, akibat industrialisasi yang menghancurkan fungsi ekologi. Padahal Indonesia hanya memunyai musim kemarau dan hujan. Belum lagi bencana gempa bumi. Oleh sebab itu, pendidikan harus mewujudkan para wirausahawan yang berjiwa sosial.
Strategi pendidikan demikian itu juga diterapkan pada pendidikan luar sekolah yang mengembangkan metode pertemuan Kampung-Kampus, mempertemukan para intelektual kampus dan nonkampus yang peduli untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat kampung-kampung, terutama yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah. Ini merupakan gagasan yang pernah kami rumuskan dalam Walhi Institute Jawa Timur. Selain itu, pembentukan kelompok-kelompok studi permanen di kampung desa dan kota seharusnya dilakukan dengan agenda diskusi rutin untuk selalu menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Kami sedang menggagas kelompok-kelompok tersebut misalnya dengan Arisan Slamet, di mana arisan dijadikan sarana belajar bersama.
Beberapa kali konsep tersebut baru kami praktikkan dalam bentuk pendidikan advokasi serta tata cara penanggulangan bencana bagi masyarakat di Surabaya, Banyuwangi, Jember, Lamongan, Bojonegoro dan Madura, bekerjasama dengan masyarakat lokal untuk menumbuhkan daya kritis mereka terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) daerah yang seringkali menimbulkan problem sosial di daerah. Model belajarnya adalah diskusi dan simulasi. Tetapi konsep tersebut masih belum sampai pada praktik pembentukan kelompok studi permanen, belum berjalan secara rutin, masih insidental, sebab masih menyiapkan partisipasi para akademisi yang peduli..   
Bagaimanapun, kita harus optimis dengan Indonesia yang memunyai SDA melimpah. Tetapi syaratnya adalah SDM-nya berkualitas dan merdeka. Tan Malaka – sebelum Indonesia merdeka - mengatakan, kalau Indonesia tidak merdeka maka ilmu pengetahuan akan terbelenggu. Semua negara merdeka menasionalkan, merahasiakan penemuan, guna dipakainya sendiri untuk persaingan dalam perniagaan atau peperangan. Saintis Indonesia janganlah bermimpi akan leluasa berkembang selema pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini. Kemerdekaan sains itu sehidup semati dengan kemerdekaan negara. Begitu juga kemerdekaan sains bagi suatu kelas, sehidup semati dengan kemerdekaan kelas itu.
Selanjutnya Tan Malaka mengatakan, walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, seperti 350 tahun belakangan ini. Politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekuatan Indonesia untuk memastikan belenggu Indonesia, seperti ular kobra memeluk mangsanya. [22]
Mentalitas terjajah bangsa Indonesia digambarkan oleh Bung Karno sebagai masyarakat sakit, yang kedatangan utusan-utusan masyarakat yang gagah perkasa, ulet, memunyai alat-alat, dan ilmu kepandaian. Masyarakat sakit itu tidak memeroleh kesempatan sembuh, tapi malah bertambah sakit makin habis semua ‘kutu-kutunya’, makin habis semua tenaga dan energinya. Tetapi imperialisme yang menghinggapinya itu sebaliknya makin bersulur dan berakar. Mulanya impererialisme itu kecil tapi semakin lama semakin meraksasa, mengaut-ngaut dipandang kerejekian Indonesia dan rakyat Indonesia. Imperialisme itu anak kapitalisme. Kapitalisme tua melahirkan imperialisme tua, kapitalisme modern melahirkan anak bernama imperialisme modern.[23]           
Dahulu Eropa juga mengalami Abad Kegelapan, lantas matahari terbit terang benderang dengan jalan pendidikan, tetapi kemudian melahirkan imperialisme global sampai sekarang. Indonesia juga bisa bangkit melawan dan menjadi pemenang juga dengan pendidikan yang merdeka.
Prinsip pendidikan yang tak dapat dilupakan untuk menghadapi universalisasi nilai Barat dalam globalisasi adalah menanamkan patriotisme. Seorang pendidik bernama Mochtar Buchori menulis opini di Kompas, 18 Pebruari 2005. Ia menyatakan:
Di samping itu juga ada langkah-langkah yang dapat kita lakukan secara tersendiri sebagai suatu bangsa. Salah satu "keganasan" globalisasi ialah kesediaan suatu masyarakat untuk larut begitu saja ke dalam proses globalisasi dan melepaskan segenap identitasnya, termasuk budayanya. Kita masih dapat turut memetik manfaat dari arus globalisasi tanpa larut ke dalam "budaya" Coca-Cola, McDonald's, dan CNN, serta Fox News. Tetapi untuk itu kita harus betul-betul berani mengambil keputusan tentang diri kita sendiri: Kita ini mau menjadi bangsa yang bagaimana?

Tentunya kelak generasi Indonesia diharapkan bisa mengglobalkan nilai Indonesia dalam situasi masing-masing bangsa yang berusaha mengglobalkan nilai mereka masing-masing. Lantas bertemulah semua bangsa dalam titik perdamaian untuk sama-sama hidup bahagia seperti yang digagas Johan Galtung dalam bukunya tersebut. Tapi tampaknya perang tak akan berakhir, sebab kekuasaan dunia saat ini masih terbelah dalam mazhab liberalisme ala AS dengan negara kesejahteraan ala Eropa (kecuali Inggris). Di luar itu India, Cina dan Rusia mulai bangkit menjadi lawan berat AS. Tentunya kita tak akan terjepit di tengah-tengahnya sebab Indonesia memunyai Pancasila.

C.    SIMPULAN

1.      Untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia maka sistem pendidikan nasional harus menerapkan konsep edukasi pembebasan dengan humanisasi, melakukan penataan dan pembaharuan, baik dari segi struktur atau kepemimpinan kampus maupun tradisi pendidikan melalui:
a.       Perubahan tata cara kehidupan kampus/sekolah;
b.      Reformulasi model kepemimpinan dalam suatu kampus atau sekolah;
c.       Kulturalisasi tekonologi informasi; dan
d.      Entrepreneurisasi pendidikan.
e.       Pendidikan luar sekolah.
2.      Pendidikan luar sekolah berupa pertemuan Kampus-Kampung perlu dilakukan terutama dalam menyiasati ketidakmauan negara untuk memberikan bantuan pendidikan kepada seluruh penduduk yang kurang mampu untuk membiayai pendidikan, disamping untuk menerapkan sistem edukasi alternatif untuk pembebasan.
3.      Sistem pendidikan Indonesia dalam menghadapi globalisasi dilaksanakan dengan menanamkan patriotisme dan berupaya mengglobalkan nilai-nilai Indonesia, tidak malah larut menyerahkan diri begitu saja dalam budaya Barat, melainkan tetap beridentitas Indonesia.



[1] Daniel M. Rosyid,  Bencana Alam Produk Pendidikan Buruk,  12 Januari 2008.

[2] H. Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila: Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, Andi Offset, Jogjakarta, 1985, hal. 81.

[3] Mubyarto, Ekonomi Terjajah, PUSTEP – UGM, Jogjakarta, 2005, hal. 13-14.

[4] Dikutip dari http://kwik-kian-gie.blogspot.com/, 17 Pebruari 2008.

[5] David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Koalisi Anti Utang, 2006, hal. 22.

[6] Mubyarto, opcit., hal. 22.

[7] Daniel C. Maguire, Energi Suci (terjemahan Ali Noer Zaman), Pohon Sukma, Jakarta, Cetakan I, Januari 2004, hal. 33-35).

[8] Mubyarto, opcit., hal. 27-28.

[9]Johan Galtung, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban  (terjemahan Asnawi dan Safruddin), Pustaka Eurika, Jakarta, Cetakan I, Nopember 2003, hal. 108-109.
[10] Saeful Millah, Pendidikan untuk Membebaskan, opini, www.pikiranrakyat.co.id, 6 Mei 2006.

[11] Kompas, 18 Pebruari 2008, hal. 12.

[12] ...... Gerakan Keagamaan dan Pemikira, Akar Ideologis dan Penyebarannya, (terjemahan A. Najiyulloh), Al-Itishom, Jakarta, Cetakan V Mei 2006, hal. 112).

[13] Tan Malaka, Madilog, disunting Ronny Agustinus, Pusat Data Indikator, Jakarta, Cetakan I, Oktober 1999, hal. 24.

[14] Microsoft Encarta Encyclopedia, 2005 (merupakan ensiklopedia dalam bentuk program komputer).
[15]Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran (terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Sukri), IRCiSoD, Cetakan VI, Mei 2006, Jogjakarta, hal. 287-288).

[16]Johan Galtung, opcit, hal. 13.

[17] Taliziduhu Ndraha,  Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, Cetakan I April 2005, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 195.
[18] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005, opcit. 

[19] Www.antara.co.id, 2 Pebruari 2008, jam 13:04.

[21] Daniel C. Maguire, opcit., hal. 18-19.

[22] Tan Malaka, opcit., hal. 55.

[23] Soekarno dalam Doktrin Revolusi Indonesia yang dihimpun Oedijo dkk, Narsih, Surabaya, 1962, hal. 16-17.