Thursday, March 3, 2011

Muatan Sosiologi Hukum dalam Pertimbangan Putusan Pengadilan Indonesia

 A.       PENDAHULUAN

1.         Latar Belakang

Pengadilan,  dalam suatu negara hukum, merupakan salah satu lembaga kekuasaan negara, yakni kekuasaan kehakiman, selain kekuasaan eksekutif dan legislatif berdasarkan doktrin Trias Politica. Lembaga pengadilan juga disebut sebagai lembaga yudisiil atau yang selama ini diistilahkan lembaga yudikatif.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Struktur dan fungsi Pengadilan pada suatu negara biasanya akan tergantung pada sistem hukum di negara yang bersangkutan. Pada umumnya para ahli hukum di Indonesia membagi sistem hukum di dunia ini terdiri dari dua kelompok sistem hukum, yakni civil law yang berasal dari Eropa Kontinental dan common law berasal dari negara-negara Anglo Saxon. Namun Prof. Achmad Ali melihat pandangan para pakar perbandingan hukum (comparative law) membagi sistem hukum di dunia ini ada lima model, yakni:
a.       Civil law berlaku di benua Eropa dan mantan jajahan negara-negara Eropa,
b.      Common law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara commonwealth,
c.       Customary law di beberapa negara Afrika, Cina, dan India,
d.      Muslim law, di negara-negara muslim terutama Timur Tengah,
e.       Mixed system, di mana Indonesia termasuk salah satunya yang memberlakukan hukum perundang-undangan, hukum adat dan hukum Islam.[1]
Berbagai sistem hukum tersebut tidak luput dari paradigma hukum yang dianut oleh masing-masing bangsa, yang tak lepas dari sejarah serta politik hukum pada masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam konteks pembahasan ilmu hukum di Indonesiapun hingga saat ini juga terjadi perbedaan paradigma sehingga muncul sekurang-kurangnya dua mazhab atau aliran hukum, yaitu mazhab hukum normatif atau legalistik yang termasuk berpangkal pada Teori Hukum Murni Hans Kelsen maupun paradigma positivisme Augusto Comte yang dianut dalam sistem hukum civil law Eropa Kontinental, dan mazhab hukum empirik yang juga tak lepas dari pengaruh sistem hukum adat di Indonesia.
Mazhab hukum normatif atau positivisme di Indonesia dipandang dari pengaruh sistem civil law Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Namun jika ditelusuri ternyata ada pula ahli hukum Belanda yang cara berpikirnya terbuka, memandang hukum tidaklah terbatas pada apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Paul Scholten dengan paradigma openbaar system van het rechts, bahwa hukum itu merupakan sistem yang terbuka, di mana hukum harus dinamis mengikuti perkembangan masyarakat.[2]
 Pandangan sarjana hukum Belanda tersebut mempunyai pengaruh dalam penerapan sistem hukum di Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia). Pemerintah Hindia Belanda selain menerapkan hukum Belanda yang telah dikodifikasi juga menerapkan hukum adat bagi masyarakat pribumi. Padahal diketahui bahwa salah satu karakteristik hukum adat adalah sifatnya yang tidak tertulis (unwritten law), tetapi menjadi nilai yang hidup dan diakui masyarakat adat setempat, serta dijadikan pedoman dalam hubungan masyarakat.
Paul Scholten juga mengritik Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) Hans Kelsen yang menghendaki ajaran tentang hukum harus secara tajam dipisahkan dari ilmu sosiologi. Paul Scholten menyatakan bahwa seperti gejala-gejala peradaban lainnya, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan-hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran-aliran dalam bidang kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata-pranata hukum tertentu, apa pengaruh yang ditimbulkan hal-hal ini terhadap perkembangan hukum.[3]
Paradigma, politik hukum dan implementasinya tentu berpengaruh dalam penegakan hukum di mana garda akhir dari penegakan hukum adalah pengadilan. Peradilan yang berparadigma yuridis normatif cenderung menjaga hak atas kepastian hukum, yang suatu saat bisa jadi tertinggal dari perkembangan sosial termasuk budaya dan teknologinya, sehingga dapat menabrak keadilan sosial.
Apalagi Indonesia yang saat ini dalam keadaan karut-marut, hukum cenderung tidak dipercaya masyarakat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum disebabkan karena penegak hukumnya yang kurang responsif dan kurang progresif terhadap penyakit kekuasaan yang bernama korupsi di mana para penegak hukumnya sendiri juga terindikasi terjangkit penyakit korupsi tersebut dengan maraknya suap-menyuap.
Abdul Hakim Garuda Nusantara menyampaikan menyatakan bahwa perbaikan situasi hukum saat ini termasuk dengan cara menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong para hakim mampu berpikir secara bebas dalam menghadapi kasus-kasus strategis yang diajukan di pengadilan untuk menghasilkan yurisprudensi-yurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat lapisan bawah.[4]
Prof. Achmad Ali (1999) juga menyatakan seyogyanya penegakan hukum di Indonesia lebih mengutamakan pelaksanaan hukum yang bersifat responsif, meminjam istilah Nonet dan Selznick (1978), yakni lebih banyak mendengarkan suara hati masyarakat ketimbang sebagai sekadar alat kekuasaan.[5]
Sukarton Marmosudjono menyatakan bahwa sesuai dengan cita-cita penegakan hukum kita serta mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat maka penegakan hukum dengan pendekatan yuridis semata-mata sudah tidak memadahi. Pendekatan yuridis harus dilengkapi dengan pendekatan sosio-politik dan sosio-kultural. Pendekatan sosio-kultural memaknai penegakan hukum sebagai penegakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga rasa keadilan masyarakat dapat lebih terpenuhi yang lebih jauh akan meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap penegakan hukum.[6]

2.         Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam bagian Pendahuluan tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah sistem hukum yang dianut dalam peradilan Indonesia berdasarkan hukum kekuasaan kehakiman?
b.      Bagaimanakah sosiologi hukum dalam pertimbangan putusan-putusan hakim  pengadilan di Indonesia?

B.        PEMBAHASAN

1.      Sistem Hukum Dalam Peradilan Indonesia

Sistem hukum dalam peradilan Indonesia dapat dilacak dari sejarah penyusunan UUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) tertulis Indonesia. Dalam penyusunan badan-badan negara pemerintahan Indonesia, para pendiri negara Indonesia dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica tentang pemisahan kekuasaan.  Muhammad Yamin selaku salah satu penyusun Naskah Persiapan UUD 145 menjelaskan bahwa Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berdiri sendiri atau dalam keadaan bebas dan terpisah dari kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif) sebagai akibat dari ajaran Trias Politica.[7]
Namun demikian, sistem hukum yang telah ditetapkan para pendiri negara Indonesia tersebut bersumber dari atau harus sejalan dengan Pancasila yang dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Salah satu misi negara hukum Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial sebagaimana dirumuskan dalam sila ke-lima Pancasila.
Pancasila menjadi ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia, digali dari nilai-nilai yang hidup dan diakui bangsa Indonesia, merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila inilah dipandang sebagai landasan ideal dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara.  
Jelas bahwa politik hukum konstitutif tentang kekuasaan kehakiman Indonesia mengadobsi doktrin Trias Politica dari Barat. Namun demikian jiwa yang ada di dalamnya adalah jiwa Pancasila, sebagaimana dalam kedudukan hierarki sistem hukum di Indonesia bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang letaknya di atas UUD 1945. Dalam hal ini dapat digariskan suatu pemikiran bahwa prinsip yang diambil dari Trias Politica adalah berkorelasi dengan maksud menghindari penumpukan kekuasaan, serta terwujudnya kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga eksekutif dan lembaga negara yang lain. Sedangkan sistem hukum peradilannya tentunya membawa misi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, selanjutnya Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman dijabarkan dalam undang-undang organiknya, berupa undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Pada zaman Orde Lama dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan  Kehakiman dan Kejaksaan yang memberikan. Undang-undang ini mengakui eksistensi hukum yang hidup di dalam masing-masing masyarakat, tak terbatas pada peraturan perundang-undangan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 bahwa perkara-perkara yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus diperiksa dan diputus oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat itu, tinggal tetap pada mereka untuk diperiksa dan diputusnya. Ketentuan terebut sekali-kali tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk sewaktu-waktu memajukan perkaranya di muka badan kehakiman yang melakukan peradilan umum, baik sebelum maupun sesudah ada putusan hakim desa tersebut.
Begitu pula dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung juga ditentukan bahwa hakim sebagai alat revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman (pasal 6). Ini berarti bahwa para hakim mesti paham dengan sosiologi.
Setelah pemerintahan Orde Lama beralih ke Orde Baru, diterbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dalam rangka lebih mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Undang-undang ini juga memuat sistem hukum yang sama bahwa para hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan termasuk dengan jalan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar  putusan itu,  juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan  dasar untuk mengadili. Demikian pula pasal 27 ayat (1) undang-undang ini menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada awal era Orde Reformasi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dalam rangka untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, guna memisahkan secara total kekuasaan kehakiman dari kekuasaan eksekutif, dengan jalan mengalihkan urusan adminsitrasi, keuangan dan organisasi pengadilan dari kekuasaan eksekutif kepada Mahkamah Agung.
Selanjutnya pada tahun 2004 diterbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut. Undang-undang ini tetap mempertahankan sistem hukum peradilan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 25 ayat (1) yang menentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal 28 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang masih berlaku hingga sekarang, juga masih menganut sistem yang sama, di mana para hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana hal itu ditentukan dalam pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut.
Berdasarkan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang ada sejak rezim Orde Lama hingga sekarang ini, ternyata hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya sistem hukum peradilan Indonesia merupakan gabungan dari paradigma yuridis normatif dan sosiologis. Hukum tidak diartikan semata sebagai peraturan perundang-undangan tetapi juga norma-norma tidak tertulis yang ada hidup dan diakui dalam masyarakat. Para hakim dibebani amanat untuk menegakkan bukan hanya hukum tetapi juga keadilan.

2.      Sosiologi Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim

Sebagaimana dituliskan Roscoe Pound, ahli hukum Jellinek menyatakan: jika suatu perintah hukum harus berlaku dalam perbuatan, maka kegunaannya secara sosial psikologis harus terjamin. Roscoe Pound melihat fenomena bahwa kaidah-kaidah yang diciptakan pengadilan maupun undang-undang, keduanya terus-menerus mengalami kegagalan karena tidak adanya jaminan sosial psikologis sebagaimana dikemukakan Jellinek tersebut.[8]
Suatu peraturan hukum mestinya merupakan hakikat hukum yang dianut oleh suatu masyarakat. Prof. R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa kalau suatu aliran dapat melebarkan sayapnya di antara penduduk dalam masyarakat yang tidak menganut suatu hakikat hukum yang menjadi suatu peraturan hukum, maka kemungkinan besar peraturan hukum itu tidak akan diturut masyarakat (tidak efektif) sehingga dikatakan menjadi kata mati (doode leffer).[9]
Apa yang dilihat oleh para ahli hukum tersebut menunjukkan bahwa aspek psikologi sosial menentukan kualitas hukum, termasuk dalam putusan-putusan pengadilan, untuk terwujudnya efektivitas hukum karena dukungan masyarakat. Roscoe Pound memberi contoh-contoh yang terjadi pada sistem peradilan juri (sistem  common law Anglo Saxon), bahwa kaidah-kaidah hukum dalam kitab-kitab (tertulis) dipecahkan dan dirumuskan batas-batasnya, namun proses peradilan tergantung pada penemuan fakta-fakta oleh juri sehingga memaksa untuk diterapkan kaidah yang berbeda dengan kaidah yang dimaksudkan dalam kitab-kitab itu.[10]
Namun, hingga kini rupa-rupanya pandangan positivisme yang mengajarkan bahwa “hakim adalah corong undang-undang” (ajaran Montesquieu: the judge as la bouche de la loi, as the mouthpiece the law) masih diterima banyak kalangan, termasuk para hakim abad ke-21. Paradigma legalistik Barat Klasik ini ditopang oleh simbol Dewi Keadilan Yunani yang matanya ditutup sehelai kain hitam. Hal ini berbeda dengan di Jepang di mana patung Dewi Keadilan tidak menggunakan tutup mata. Filosofinya jelas berbeda. Paradigma legalistik Barat Klasik memang memandang hakim hanya corong undang-undang sehingga menutup mata dari aspek di luar hukum, seperti nilai agama, moral, adat-istiadat, kultur dan sebagainya. Sedangkan para hakim Jepang atau penegak hukum Timur seyogyanya tidak menutup mata terhadap faktor-faktor di luar undang-undang, mampu menyaksikan dan menyerap nilai-nilai yang hidup, aspirasi dan rasa keadilan masyarakat.[11]
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa dunia sedang terus berubah di mana paradigma ilmu hukum murni yang menolak sosioligi dan disiplin ilmu lainnya makin tidak relevan lagi. Hukum memang dibentuk oleh dan untuk masyarakat sehingga hukum tak akan mampu berdiri sendiri tanpa faktor-faktor sosiologis.
Di Barat sendiri juga terus terjadi perubahan yang tak terelakkan. Paradigma legalistik Barat Klasik tersebut telah diubah di Amerika Serikat sejak tahun 1950-an di masa reformasi peradilannya, menjadi paradigma social justice di masa hakim agung Holmes, Cordozo, Llewellyn, Frank, Gray dan lain-lain. Jadi, reformasi peradilan yang teramat penting adalah reformasi paradigma.[12]
Sebenarnya paradigma hukum legalistik Barat Klasik juga terbukti tumbang di negeri Belanda yang bersistem civil law. Sebelum tahun 1919, istilah “perbuatan melawan hukum” diartikan sebagai melanggar hak orang lain yang telah ditentukan oleh undang-undang. Namun tahun 1919 Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) membuat putusan yang merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan baik maupun keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, yang akibat perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.[13]
Itu berarti bahwa Mahkamah Agung Belanda sejak tahun 1919 telah mengubah paradigma bahwa hukum bukanlah sekadar apa yang ada dalam kitab undang-undang, namun juga mengakui “kesusilaan yang baik” sebagai bagian dari hukum. Kesusilaan baik tersebut tentu diukur dari parameter nilai masyarakat yang menganutnya. Dalam hal tersebut ternyata sejak tahun 1919 telah terjadi perubahan paradigma di negara bersistem civil law tersebut, di mana kesusilaan baik sebagai bagian dari nilai-nilai sosial masuk menjadi bahan pertimbangan putusan hakim.
Pada akhir abad ke-19 memang mulai timbul teori hukum baru yang menentang ajaran ilmu hukum analitis. Teori hukum baru ini mengadakan penyelidikan tentang kenyataan-kenyataan dalam masyarakat modern (realities of modern society) dalam kaitannya dengan hukum modern (modern law). Dasar-dasar aliran baru ini adalah sebagian metafisis sebagian sosiologis. Namun demikian pada perkembangannya pusat perkembangan gerakan realisme ini adalah Amerika Serikat. Pendekatan tersebut pertama kali dilakukan oleh Marx dalam menganalisis masyarakat, meskipun dalam beberapa hal analisis Marx tak mempunyai pengaruh langsung terhadap ilmu pengetahuan hukum.[14]
Aliran baru yang biasa disebut sosiological jurisprudence tersebut juga mempengaruhi sistem hukum Eropa Kontinental sehingga muncul yurisprudensi Hoge Raad 1919 yang membentuk pengertian yuridis “perbuatan melawan hukum” yang dapat dikata bernuansa yuridis-sosiologis tersebut. Di masa penjajahan Belanda, pemerintah Kerajaan Belanda juga menerapkan hukum Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga serta-merta yurisprudensi Hoge Raad tersebut juga diterapkan di Indonesia, bahkan diakui sampai sekarang. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda juga diterapkan peradilan berdasarkan hukum adat bagi golongan penduduk pribumi di masing-masing wilayah adatnya. Hal itu menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia sangat memperhatikan dan tak lepas dari sosiologi hukum.
Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia juga terdapat peradilan adat berdasarkan Ordonansi Pengadilan Adat Staatsblaad 1932 Nomor 80 di mana pasal 46 ordonansi tersebut memberi kebebasan kepada hakim untuk menghukum pihak-pihak yang berperkara, supaya menjalankan perbuatan apapun yang perlu guna penyelesaian perkara.[15]
Istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali dikemukakan Snouck Hurgronje, selanjutnya digunakan C. van Vollenhoven. Kata “hukum” dalam hukum adat tersebut dipandang artinya lebih luas dibandingkan dengan “hukum” di Eropa sebab terdapat peraturan-peraturan adat yang selalu dipertahankan keutuhannya oleh berbagai golongan tertentu dalam lingkungan kehidupan sosialnya seperti masalah pakaian, pangkat pertunangan dan sebagainya. Hukum adat ini mengalami perubahan yang bergantung pada pengaruh kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti.[16]
Di Indonesia terdapat berbagai putusan pengadilan yang menjadi yurisprudensi dalam perkara-perkara yang diputuskan menggunakan hukum adat. Hukum adat juga tampak mengalami perkembangan yang diformalkan dalam bentuk yurisprudensi. Contohnya berkaitan dengan hak mewaris janda. Pada mulanya prinsip hukum waris adat menentukan bahwa para ahli waris adalah mereka yang mempunyai ikatan pertalian darah dengan pewaris. Namun, Mahkamah Agung mengubah prinsip tersebut dengan melihat perkembangan aspirasi keadilan masyarakat di Indonesia sehingga menentukan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia seorang janda (perempuan) merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya, sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 302 K/Sip/1960 tanggal 2 Nopember 1960.[17]
Selain dalam bidang hukum perdata, tampaknya dalam hukum pidana dengan asas legalitasnya juga mengakui hukum adat pidana. Kasus-kasus pidana adat pernah diputuskan oleh peradilan Indonesia. Di antaranya dapat ditengok dalam kumpulan yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung RI terdapat delik pidana adat yang juga diadili, seperti adanya tindak pidana mengawini anak tiri atau kejahatan “gamia gamana” (putusan Mahkamah Agung RI Nomor 11 K/Kr/1976 tanggal 7 Juli 1976) dan delik adat zina (putusan Mahkamah Agung RI Nomor 93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1977).[18]
Hakim dalam memutuskan suatu perkara memang terkadang bertindak sebagai pencipta ataupun penemu hukum, bertindak sebagai realis yang melihat kenyataan. Bahkan Hans Kelsen pengemuka Teori Hukum Murni juga mengakui bahwa hakim pada saat tertentu juga merupakan legislator yang dapat melakukan tindakan baru, tanpa mengubah undang-undangnya, mengambil suatu keputusan yudisial yang konkret yang tidak sesuai dengan norma umum yang telah didekritkan menjadi hukum. Hans Kelsen membedakan bahwa undang-undang adalah norma umum, sedangkan putusan hakim adalah norma individual. Hanya saja, Kelsen menyatakan bahwa keabsahan norma individual itu seharusnya dapat dijustifikasikan dengan norma umumnya. Tetapi jika makna subyektif suatu norma individual tak dapat dijustifikasikan dengan norma umum, namun dapat dijustifikasi dengan norma umumnya berkaitan dengan kekuatan dari putusan yudisialnya (legal force of judicial decisions) maka hal itu tidak menjadi soal.[19]
Selanjutnya kita akan membahas soal sistem hukum peradilan pada masing-masing peradilan yang ada di Indonesia. Secara garis besar, peradilan di Indonesia dibagi menjadi peradilan konstitusi yang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi dan peradilan yang dilaksanakan pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung. Sedangkan peradilan pada pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung terdiri dari peradilan yang dilaksanakan Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer (Mahkamah Militer) dan Pengadilan Agama.
Prinsip peradilan yang disebutkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, sejak zaman Orde Lama hingga Orde Reformasi ini tidak menentukan secara khusus bahwa hakim pengadilan mana dan dalam perkara apa yang diberi wewenang untuk menggali nilai-nilai yang hidup dan diakui masyarakat. Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan semua hakim (hakim dan hakim konstitusi) wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Demikian pula pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan kewajiban bagi hakim untuk memuat alasan dan dasar putusan, serta pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili dalam suatu putusan pengadilan yang dibuat. Hal itu menjadi dasar bagi para hakim untuk membuat putusan pengadilan yang dapat memuat pertimbangan serta alasan berdasarkan sosiologi hukum yang terkait dengan perkara yang diperiksa dan diadili.
Dalam praktiknya hakim konstitusi dalam beberapa perkara telah membuat suatu putusan yang melampaui ketentuan undang-undang (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) dengan alasan sosiologis. Pasal 75 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan batasan apa yang dimohon oleh pemohon dalam sengketa hasil pemilihan umum, yakni tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Jika ketentuan tersebut diterapkan berdasarkan asas ultra petita maka yang dapat diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pemilihan umum, dalam hal dapat menerima dan mengabulkan permohonan pemohon, adalah: (1)  Menyatakan kesalahan hasil penghitungan pemungutan suara; (2) Pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum; dan (3) Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. 
Tetapi Mahkamah Konstitusi pernah memutus memerintahkan pemungutan suara ulang di Kota Manado, dengan maksud memberikan kepercayaan masyarakat dan legitimasi dalam penyelenggaraan premilihan kepala daerah di Kota Manado.[20]
Hal serupa juga diputuskan untuk pemungutan suara ulang di beberapa tempat di Provinsi Jawa Timur dalam pemilihan kepada daerah Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Rokan Hulu Riau, Tangerang Selatan.
Dalam bidang hukum perdata para hakim telah sering melakukan penemuan hukum, termasuk dalam peradilan yang menggunakan hukum adat yang telah dijelaskan di depan. Begitu pula dalam kaitannya dengan sengketa hukum perdata modern di mana hukum adat mulai ditinggalkan karena sifat-sifat hubungan hukum perdata yang kian melewati batas komunitas-komunitas lokal. Corak hubungan perdata berkembang mengikuti pengaruh model-model hubungan bisnis modern.
Arus globalisasi membawa nilai-nilai hukum ekonomi (economic law value) yang disebut business law. Sebagai konsekuensinya maka juga muncul sengketa-sengketa hukum baru seperti misalnya di dalam hubungan kontrak atau perjanjian leasing, lisensi, hak atas kekayaan intelektual dan lain-lain membentuk hukum baru yang bersifat sui generis atau memiliki kepribadian yang khas  atau keadaan khusus (particular circumstances). Yahya Harahap berpendapat bahwa dalam menghadapi keadaan-keadaan hukum baru tersebut maka para hakim mesti menjadikan bentuk hukum baru tersebut sebagai sumber hukum tak tertulis dengan cara membaca dan mempelajari berbagai konvensi atau lembaga Lex Mercatoria (Hukum Perniagaan Internasional).[21]
Berbagai macam konvensi dapat dijadikan sumber hukum tak tertulis yang melengkapi dan menambah asas dan ketentuan hukum adat menghadapi arus perkembangan globalisasi. Hukum tak tertulis dalam konteks pencarian dan penemuan hukum yang hendak diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi para hakim bukan saja hukum berwawasan Indonesia tapi juga meliputi hukum kebiasaan berwawasan transnasional dan global.[22]
Dengan demikian, di lapangan hukum perdata putusan-putusan hakim juga harus mengikuti perkembangan masyarakat modern yang lebih dulu membentuk modus-modus hubungan hukum ekonomi yang baru. Dalam hal ini para hakim menjadikan hukum menjadi bersifat dinamis mengikuti perkembangan masyarakat.
Bahkan di bidang hukum acara perdata terdapat pandangan-pandangan hukum yang mandiri yang tidak terikat pada ketentuan hukum tertulis. Prof. Supomo menyampaikan pandangan-pandang bara ahli hukum Belanda seperti Mr. G. Wijers, Prof. Star Busman, Prof Ter Haar yang menganjurkan agar Landraad (pengadilan negeri) mencari kebenaran hukum materiil dalam proses hukum acara perdata. Soepomo juga mengemukakan bahwa sistem atau aliran hukum adat tidak mengenal beban pembuktian melainkan mewajibkan kepada para hakim untuk aktif sebulat-bulatnya yang sistemnya berbeda dengan Reglemen Indonesia.[23]
Supomo juga menjelaskan perbedaan antara sistem hukum acara menurut Reglement Rechtsvordering, Reglemen Indonesia, dan sistem tradisional Indonesia. Reglement Rechtsvordering bersifat liberal-individualistis di mana dalam acara perdata bergantung keaktifan para pihak yang berperkara, bukan hakim yang aktif. Reglemen Indonesia lebih memberi kekuasaan kepada hakim untuk memimpin dan mengatur segalanya dalam sidang pengadilan, bahkan jika perlu menggunakan wewenang memanggil sendiri (ex officio) para saksi yang dibutuhkan. Sedangkan dalam sistem hukum tradisional Indonesia mengutamakan kepentingan masyarakat, negara diwajibkan menyelesaikan perkara sehingga hukum dipulihkan kembali dan perkara dapat berakhir secara mutlak. Supomo menyatakan bahwa hakim bebas untuk memutus menyimpang atau melebihi isi gugatan. Sedangkan sistem hukum Eropa baik yang lama dan yang modern melarang hakim memutuskan melebihi gugatan (ultra petita partium). Kecuali sistem hukum Soviet Rusia yang memberi wewenang hakim memperluas proses di luar batas-batas yang ditentukan para pihak jika perluasan itu demi kepentingan negara atau masyarakat pekerja.[24]
Dalam penerapan hukum di pengadilan terkadang didapatkan persoalan antara memilih kepastian hukum dan keadilan. Yahya Harahap yang merupakan mantan hakim agung tersebut mengemukakan argumen bahwa adakalanya undang-undang bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban dan kemanusiaan, sehingga hakim berwenang melakukan tindakan contra legem atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang.[25]
Praktik contra legem juga pernah dilakukan oleh hakim dalam hukum acara pidana. Sebagai contoh ketentuan pasal 244 KUHAP menentukan bahwa putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi namun kemudian pasal 244 KUHAP disimpangi demi pertimbangan kepentingan yang lebih adil menyangkut perasaan keadilan masyarakat. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi yang dilakukan terdakwa Nata Legawa tahun 1983 (putusan Mahkamah Agung Nomor 275 K/Pid/1983) selanjutnya menjadi yurisprudensi dipedomani dalam praktik hukum acara pidana.
Demikian pula ketentuan pasal 263 KUHAP ditafsir lebih luas dengan memberi hak kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dengan pertimbangan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Di zaman Orde Baru Mahkamah Agung pernah memutuskan bahwa Kejaksaan juga dapat mengajukan upaya hukum PK sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Majelis hakim agung waktu itu Soerjono, Sarwata dan Palti Radja Siregar menegaskan bahwa permohonan PK oleh jaksa/penuntut umum, pada pokoknya dapat dibenarkan dengan menafsir ekstensif pasal 263 KUHAP menggunakan dasar diantaranya pasal 263 ayat (3) KUHAP. Begitu pula dalam kasus korupsi mantan Gubernur Bank Indonesia, Sjahril Syabirin dan yang cukup terkenal juga kasus pembunuhan Munir dengan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pid/2007.
Namun demikian tidak semua hakim mempunyai pandangan yang seragam dalam memahami sistem hukum peradilan di Indonesia. Dalam kasus praperadilan yang diajukan Anggodo di tahun 2010 dalam soal penghentian penuntutan terhadap Bibit dan Chandra para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Agung memutuskan tidak menerima permohonan PK yang diajukan Kejaksaan dengan dasar diantaranya adalah bahwa perkara praperadilan tidak mengenai pokok perkara sebagaimana dimaksud pasal 263 KUHAP, lagipula upaya hukum PK dalam pasal 263 KUHAP tidak menyebut pihak selain terpidana dan ahli warisnya.
Dalam soal tersebut sebenarnya terdapat kekosongan hukum tentang upaya hukum PK dalam perkara preperadilan. Dengan kekosongan hukum tersebut maka hakim agung dalam perkara tersebut menggunakan ketentuan pasal pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009 yang menentukan bahwa putusan tentang praperadilan adalah perkara yang dikecualikan untuk diperiksa dalam tingkat kasasi, maka secara mutatis mutandis, untuk perkara praperadilan juga tidak dapat dimintakan permohonan PK. Ini berarti Mahkamah Agung telah menggunakan aturan pembatasan kasasi sebagai dasar aturan pembatasan PK.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 152 PK/Pid/2010 pada perkara praperadilan yang diajukan Anggodo tersebut juga terdapat dissenting opinion yang diajukan oleh hakim agung Moegihardjo mengenai amar putusan, yang pada pokoknya berpendapat, bahwa oleh karena Kejaksaan/Jaksa tidak dapat mengajukan permohonan PK, maka permohonan Pemohon PK itu seharusnya ditolak. Majelis hakim agung dalam perkara ini tidak menyinggung alasan sosiologi hukum yang diajukan oleh Kejaksaan. Putusan ini selain menunjukkan inkonsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan yurisprudensinya, juga menunjukkan ciri yang postivistik dan menolak pertimbangan sosiologi hukum.
Dalam bidang peradilan tata usaha negara justru hukum tidak tertulis menjadi salah satu dasar bagi hakim untuk memutus sengketa tata usaha negara, yakni asas-asas umum pemerintahan yang baik, selain peraturan perundang-undangan (pasal 53 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009). Sistem demikian mengikuti karakteristik yuridis administrasi negara yang tak lepas dari wewenang pejabat atau badan tata usaha negara untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bebas demi melayani masyarakat (asas freis ermesen) yang kadangkala harus melampaui atau bertentangan dengan undang-undang. Ini menunjukkan bahwa sistem peradilan tata usaha negara juga memungkinkan atau member kewenangan kepada hakim untuk mencari dasar-dasar serta pertimbangan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Begitu pula sistem peradilan agama juga tak dapat menghindari kehendak umat Islam yang membutuhkan pelaksanaan syariah Islam meskipun secara politik hukum masih dibatasi dalam bidang perdata. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 kian memperluas cakupan hukum perdata Islam yang menjadi obyek peradilan agama. Boleh di kata seluruh sengketa hukum perdata Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama. Para hakim Pengadilan Agama tentu tak akan menemukan bahwa seluruh hukum Islam perdata materiil dalam peraturan perundang-undangan, melainkan juga memahami dan menerapkan dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits yang diakui sebagai nilai hukum oleh umat Islam.
Sedangkan dalam peradilan militer sistem yang digunakan sama dengan sistem peradilan hukum pidana Indonesia yang masih berpegang teguh pada asas legalitas, sebab peradilan militer merupakan peradilan pidana militer sebagaimana diatur dengan Undang-undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan menggunakan dasar hukum materiil KUHP Militer.
Berkaitan dengan asas legalitas dalam hukum pidana memang sangat diperlukan guna menghindari kriminalisasi sewenang-wenangan penguasa. Namun demikian dalam praktiknya hakim dalam menetapkan hukuman bagi seseorang tetap harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat sebagaimana prinsip kekuasaan kehakiman yang mewajibkan para hakim memahami dan menerapkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini terutama berkaitan dengan berat-ringannya putusan hukuman yang dijatuhkan.
Akhir-akhir ini perkara-perkara kecil yang dibawa ke pengadilan seperti contohnya pencurian buah semangka oleh Kholil dan Basar di Kediri, buah randu, tanaman jagung, pisang di Bojonegoro, dan pencurian biji kakao oleh Nenek Minah di Banyumas. Semua itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat. Fenomena yang sebenarnya telah terjadi sejak dahulu itu mulai menarik perhatian karena diberitakan media massa secara luas sehingga membuka mata masyarakat kelas menengah ke atas tentang apa yang dialami masyarakat kecil tersebut.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam salah satu bagian pidatonya, pada acara penutupan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI 2010 di Balikpapan tanggal 14 Oktober 2010, mengharapkan seluruh jajaran peradilan mendorong hakim dalam menggunakan independensinya untuk menemukan hukum progresif yang selanjutnya digunakan untuk memberikan keadilan restoratif. Sikap independensi hakim seharusnya digunakan untuk melahirkan inovasi-inovasi baru untuk menemukan hukum, membuat putusan yang berkualitas, dan yang lebih penting lagi mampu meneruskan nilai-nilai restorative justice.[26]
Konsep restorative justice atau proses peradilan yang bersifat memulihkan, mempertemukan silang sengketa hak dan kewajiban pelaku dan korban. Lembaga Peradilan sebagai institusi yang memiliki kompetensi solusi otoritatif dapat merespon restorative justice dalam rangka memenuhi asas pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam hubungan ini hubungan sinergis dengan penegak hukum lain (kepolisian, kejaksaan dan advokat) akan memperlancar tujuan hakiki dari kebenaran dan keadilan. Pada saat yang bersamaan ada akuntabilitas dan transparansi dalam proses administration of justice.[27]
Sebenarnya dalam praktik penyelesaian perkara pidana di Kepolisian telah sering dilakukan penyelesaian antara korban dengan pelaku dengan membuat persetujuan perdamaian yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan pencabutan laporan perkara, meski sebenarnya dalam hukum acara pidana Indonesia belum mengenal konsep ini terutama dalam delik-delik biasa (bukan delil aduan).
Sistem keadilan restoratif juga dapat dikembangkan dalam peradilan pidana yang meniru praktik peradilan Islam di zaman Nabi Muhammad dan para khalifah penerusnya, di mana contohnya terhadap pencuri yang miskin dapat dibebaskan oleh pengadilan dan kerugian yang diderita korban yang jumlahnya kecil diganti dengan uang negara, sebab pada dasarnya negara mempunyai kewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga tidak layak ada rakyat mencuri karena tidak bisa makan (miskin). Konsep hukum demikian dapat diterapkan dalam peradilan juga menggunakan pertimbangan sosiologi hukum sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan kewenangan yang bebas dan mandiri sesuai dengan sistem hukum kekuasaan kehakiman di Indonesia maka para hakim harus membuat kebijakan putusan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan sosial.
Berpijak pada pemikiran yuridis-sosiologis pula, Prof. Satjipto Rahadjo menyampaikan temuan Jakob Sumardjo yang mengatakan jenis pencurian di Jawa itu ada 15 macam. Itu berarti pasal 362 KUHP merupakan cacat besar bagi masyarakat Jawa sebab 15 jenis pencurian itu tidak akan dapat dirumuskan secara benar dalam sebuah kalimat. Padahal pasal 362 KUHP itu dipakai untuk mengadili seluruh bangsa Indonesia termasuk masyarakat Jawa.[28]
Dengan demikian, melihat pada sistem hukum Indonesia serta tuntutan perkembangan hukum dalam masyarakat, para hakim tak lagi tepat untuk menggunakan aliran pikiran (paradigma) hukum yang bersifat dogmatik, melainkan harus peka melihat tipe budaya hukum, keadaan sosial serta nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat yang bersangkutan. Para hakim yang membatasi diri untuk hanya berpedoman pada peraturan perundang-undangan tertulis bukanlah hakim yang merdeka dan bukan hakim yang mampu melihat nurani hukum masyarakat, serta menjadi penghambat terwujudnya cita-cita keadilan sosial.

C.    PENUTUP

1.         Simpulan

a.       Sistem hukum yang dianut dalam peradilan Indonesia berdasarkan hukum kekuasaan kehakiman adalah sistem hukum yang mengakui adanya hukum tak tertulis yang hidup dan diakui oleh masyarakat. Para hakim bukan hanya bertugas menegakkan hukum tetapi juga keadilan dengan kewajiban menggali nilai-nilai yang hidup dan diakui oleh masyarakat, selain menggunakan dasar-dasar hukum tertulis yang ada.
b.      Sosiologi hukum merupakan unsur penting dalam pertimbangan putusan-putusan hakim  pengadilan di Indonesia berdasarkan sistem hukum Indonesia yang mewajibkan para hakim untuk memahami dan menerapkan hukum di luar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dalam praktiknya masih terjadi polaritas pendapat antara para hakim yang menyetujui aspek sosiologi hukum menjadi pertimbangan putusan pengadilan dengan para hakim yang berpikiran legal dogmatik yang tidak bersedia memberikan pertimbangan hukum yang bersifat sosiologis.

2.      Saran

Sistem hukum Indonesia yang bersifat terbuka, responsif dan progresif harus disosialisasikan secara intensif kepada para hakim dan penegak hukum lainnya serta diwajibkan untuk adanya pendidikan hukum yang sosiologis guna menanamkan paradigma tersebut.



 [1]Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Vol. 1, Kencana, Jakarta, cet. Ke-2, 2009, hal.  203.
[2] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,  Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 70.
[3] Paul Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum), terjemahan B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 5-6.
 [4] Henry P Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 19.
[5] Ibid, hal. 27.
[6] Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, 1989, hal. 20.
[7] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III, Siguntang, Jakarta, 1960, hal. 798.
[8] Roscoe Pound, The Task of Law (Tugas Hukum),  terjemahan Muhammad Radjab, Bhratara, Jakarta, 1965, hal. 76-77.
[9] R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Bale Bandung, Bandung, 1988, hal. 14-15.
[10] Roscoe Pound, op cit, hal. 78.
[11] Achmad Ali, op cit, hal. 478.
[12] Ibid, hal. 477 dan 479.
[13] M.A. Moegnidjojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal. 27.
[14] Mr. Soetiksno, Filsafat Hukum (Bagian I), Prima, Jakarta, 1973, hal. 106.
 15] R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 20.
[16] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 70-71.
[17] Mahkamah Agung RI, Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 186.
[18] Ibid, hal. 384.
[19] Hans Kelsen, Essays In Legal and Moral Philosophy (Hukum dan Logika), terjemahan B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2006, hal. 59-62.
[20] Antaranews.com, 3 September 2010.
[21] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 829.
 [22] Ibid, hal. 829-830.
[23] R. Supomo, Opcit,  hal. 14-16.
    [24] Ibid, hal. 19-20.
     [25] Yahya Harahap, Opcit, hal. 858-859.
    [26] H. Muchsin, Restorative Justice dalam Tindak Pidana Tertentu, Makalah, Jakarta, Januari 2011, hal. 1.
    [27] Ibid, hal. 13.
    [28] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 120-121.

No comments:

Post a Comment