Saturday, December 11, 2010

Percampuran Dana dan Kegiatan Bank Syariah dengan Bank Konvensional Ditinjau Menurut Hukum Islam

A.                PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah

         Bank Indonesia (selanjutnya disingkat BI) mengukur pertumbuhan aset perbankan syariah selama tiga tahun terakhir yang mencapai rata-rata 38,2 persen senilai Rp 82,1 triliun per Agustus 2010. Pertumbuhan aset industri perbankan syariah selama November 2008 hingga Agustus 2010 mencapai rata-rata Rp 1,5 triliun per bulan. Hampir semua lembaga perbankan di Indonesia saat ini sudah memiliki layanan perbankan syariah. Jumlah jaringan kantor bank syariah juga semakin meluas mencapai 1.624 kantor dengan sebaran ke seluruh provinsi di Indonesia [1]
Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran ekonomi Islam. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan segala bentuk riba.  Bank syariah menggunakan sistem prinsip bagi hasil, guna menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya.[2]
Jadi, motif didirikannya bank syariah dapat dikatakan sebagai kritik dan lawan dari perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga. Tetapi kedua jenis perbankan tersebut diatur oleh BI yang juga merupakan bank konvensional sentral.
            Meskipun bank syariah didirikan dalam rangka melaksanakan prinsip ekonomi Islam, yang sedianya menghindari praktik riba, ternyata terdapat bank-bank syariah yang sahamnya dimiliki bank-bank konvensional dan hasil konversi dari bank konvensional, sehingga terjadi percampuran dana bank syariah dengan bank konvensional dan dilakukan kerjasama antara bank-bank konvensional dengan bank-bank syariah.
         Contohnya adalah Bank Syariah Mandiri berasal dari PT. Bank Susila Bakti  milik Yayasan Kesejahteraan Pegawai PT. Bank Dagang Negara dan PT. Mahkota Prestasi. Dalam prosesnya, tahun 1997-1999 akhirnya PT. Bank Susila Bakti akan dikonversi menjadi bank syariah. Selanjutnya terjadi merger empat bank yakni Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim dan Bapindo, menjadi  PT. Bank Mandiri (Persero) pada 31 Juli 1999. Maka, rencana perubahan PT. Bank Susila Bakti menjadi bank syariah diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (Persero).
         Pada 25 Oktober 1999, BI memberikan izin PT. Bank Susila Bakti mengubah kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya dengan Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior BI Nomor 1/1/KEP.DGS/1999 tanggal 25 Oktober 1999, BI menyetujui perubahaan nama PT. Bank Susila Bakti menjadi PT. Bank Syariah Mandiri.[3]
         Begitu pula dengan BNI Syariah. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) merintis Divisi Usaha Syariah berawal dari 5 kantor cabang di Yogyakarta, Malang, Pekalongan, Jepara dan Banjarmasin yang mulai beroperasi tanggal 29 April 2000. Selanjutnya BNI Syariah merespon Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006 tentang pemberian ijin bagi kantor cabang bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani pembukaan rekening produk dana syariah, dengan cara bersinergi dengan cabang konvensional guna melakukan “office channelling”.[4]
   BRI Syariah juga berasal dari Bank Jasa Arta (bank konvensional) yang diakuisisi PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) tanggal 19 Desember 2007. Selanjutnya dengan izin BI,  kegiatan usaha Bank Jasa Arta diubah menjadi bank umum syariah pada tanggal 16 Oktober 2008. Lahirlah PT. Bank Syariah BRI   pada tanggal 17 November 2008. Selanjutnya terjadi peleburan unit usaha syariah (UUS) BRI ke dalam BRI Syariah ini berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2009, di mana pemegang saham BRI Syariah adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, sebesar 99,99967 persen dan Yayasan Kesejahteraan Pekerja BRI sebesar 0,00033 persen.[5]

        
2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:
a.             Bagaimanakah sistem bunga bank konvensional dibandingkan dengan sistem bagi hasil bank syariah, ditinjau dari perspektif hukum Islam?
b.            Bagaimanakah pencampuran dana bank konvensional dengan bank syariah serta kerjasama kegiatan usahanya ditinjau dari perspektif hukum Islam?

3.      Metode Penulisan

a.       Bahan-bahan hukum
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan dalil-dalil hukum Islam yang terdapat di kitab Al-Quran dan kitab-kitab Hadits. Bahan hukum undang-undang yang dipergunakan adalah:
1)      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009;
2)      Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
3)      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998.
Sedangkan bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku tentang hukum Islam, skripsi, makalah, jurnal hukum, artikel-artikel analisis hukum Islam dari yang dipublikasi di situs-situs internet.
Selain itu juga digunakan bahan nonhukum, berupa majalah-majalah dan artikel-artikel media massa yang berisi informasi fakta-fakta masalah ekonomi perbankan serta teori keuangan/moneter.

b.      Teknik Analisa
Pada dasarnya penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskipsi dalam menyelesaikan masalah hukum. Jawaban yang diharapkan adalah benar, wajar, tidak layak atau tidak benar (right, appropriate, inappropriate, wrong).
Teknik analisa di sini disusun menggunakan metode deduktif, bersifat yuridis normatif, menelaah undang-undang terkait dan hukum Islam, melakukan komparasi dengan cara melihat masalah yang ada, mengorelasikan praktik perbankan konvensional yang menggunakan sistem bunga dan perbankan syariah dengan sistem bagi hasil (kenyataan) dengan prinsip-prinsip hukum Islam (norma), sehingga dapat dikemukakan preskripsinya.
Bahan-bahan hukum primer dipilih dikorelasikan dengan bahan-bahan hukum sekunder digunakan untuk menguji kebenaran praktik perbankan konvensional dan syariah yang ada di Indonesia menurut hukum Islam. Analisa ini juga menggunakan bahan-bahan nonhukum berupa teori keuangan (finance theory) yang melandasinya, serta data-data perkembangan ekonomi nasional dan global yang menggunakan sistem ekonomi konvensional, sebab konsepsi hukum Islam ditetapkan dengan illat (sebab) dan hikmat (tujuan) sehingga penting untuk melihat realitas penerapan sistem ekonomi konvensional.

B.                 PEMBAHASAN

1.      Bank Konvensional dan Bank Syariah Menurut Hukum Islam

Seluruh ketentuan hukum Islam bidang perdata kini telah menjadi hukum positif di Indonesia. Sumber utama hukum Islam Perdata (hukum materiilnya) di Indonesia adalah Al-Quran dan Hadits, yang penafsirannya juga dijabarkan dengan undang-undang terkait, Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, serta yurisprudensi. Secara umum, sumber hukum Islam menurut mazhab Syafi’i adalah Al-Quran, As-Sunnah (Hadits), Ijma’ dan Qiyas.[6]
Sejak tahun 2006, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 sebagai perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 (selanjutnya disingkat UU Peradilan Agama), tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah (pasal 49).
Dalam bidang ekonomi Islam (ekonomi syariah), khususnya di bidang perbankan, Indonesia telah menerbitkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disingkat UU Perbankan Syariah).
Eksistensi bank syariah selain sebagai implementasi akidah bagi umat Islam, juga mempunyai argumentasi ekonomi yang ilmiah. Hal itu juga dapat dibaca secara utuh dalam UU Perbankan Syariah, terutama dalam Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal per pasalnya, yang secara substansial bertentangan dengan prinsip bank konvensional.
Salah satu kritik terhadap perbankan konvensional adalah pelanggaran terhadap prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama risiko). Pembayaran bunga bank ditentukan lebih dulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate), padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined rate juga. Bank konvensional mengharap hasil usaha tetapi menolak risiko usaha (gaining return without being responsible for any risk atau al ghunmu bi laa ghurmi), berharap hasil usaha tetapi tidak mau turut menanggung biayanya (gaining income without beeing responsible for any expenses  atau al kharaj bi laa dhaman). Hal itu bertentangan dengan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni return goes along with risk.[7]
Kegiatan usaha bank konvensional di Indonesia secara normatif dapat dilihat dalam pasal 6 dan 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan). Diantara usaha-usaha bank konvensional tersebut, yang biasa dikenal masyarakat umum adalah penyimpanan dana masyarakat dengan memberikan bunga simpanan. Dana simpanan masyarakat ini selanjutnya termasuk yang dipinjamkan kepada masyarakat kembali dengan bunga pinjaman (utang). Dalam hal ini bank juga mengambil untung dari spread atau selisih bunga pinjaman dengan bunga simpanan yang disebut margin bunga.
Sistem bunga dalam bank konvensional merupakan bagian atau komponen sistem keuangan kapitalisme. Sifat spekulasi (gharar) sistem bunga dalam perbankan konvensional tidak hanya bergantung pada faktor-faktor internal bank dan faktor hubungan dengan kesehatan ekonomi nasabahnya,  tetapi juga terkait dengan sistem ekonomi kapitalisme di dunia yang liberal dan spekulatif.
Krisis ekonomi perbankan Indonesia di era 1997-1998 merupakan contoh nyata bahwa perbankan konvensional sangat dipengaruhi perkembangan ekonomi global. Dana bantuan likuiditas BI (BLBI) dikucurkan sebesar sekitar Rp. 699 triliun untuk melakukan penyehatan perbankan Indonesia atas prakarsa Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund / IMF). Kebijakan tersebut menjadi masalah yang tidak tuntas hingga sekarang.
Tahun 2008 Amerika Serikat mengalami puncak krisis ekonomi yang hingga sekarang belum pulih. Resesi kali ini dimulai dari keruntuhan sektor perumahan dan kemudian menjadi sebuah krisis kredit besar yang akhirnya mendestabilisasikan keuangan Amerika Serikat. Keruntuhan keuangan sebelumnya terjadi di Jepang dan Meksiko yang pemulihannya berlangsung selama bertahun-tahun.[8]
Kondisi perekonomian Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang sebenarnya sudah stagnan sejak 16 tahun lalu. Sedangkan kondisi Indonesia, menurut ekonom Imam Sugema dan Ihsanuddin Noorsy, telah terperangkap dalam jerat utang kepada IMF dan World Bank (Bank Dunia), menjalankan resep IMF yang sebenarnya menyesatkan.[9]
Utang pemerintah Indonesia berkembang pesat dari 122,42 milyar dollar AS pada tahun 2001 menjadi 185,3 milyar dollar AS pada tahun 2010. Selama periode tersebut utang negara bertambah 61,88 milyar dollar AS atau sekitar Rp 556,92 triliun. Jadi, selama 10 tahun terakhir negara mengalami ketergantungan terhadap utang, justru utang negara meningkat 50,56 persen atau hampir setengah dari jumlah utang tahun 2001.[10]
Ekonom senior Kwik Kian Gie melihat bahwa beban utang negara Indonesia dan bunganya sudah merupakan 25 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bunga akumulatifnya yang dibayarkan sudah lebih besar daripada utang pokoknya.[11] 
Itulah bukti-bukti bahwa bunga utang akumulatif menimbulkan jerat ekonomi yang merugikan publik. Di dunia ini, kita biasa melihat kejatuhan korporasi perbankan konvensional, yang lalu merepotkan negara untuk menalangi dana dalam jumlah besar. Itulah gambaran umum fakta-fakta masalah yang ditimbulkan dalam penerapan sistem bank konvensional yang menerapkan bunga dilihat dari kaca mata perekonomian global. Cukup beralasan jika hukum Islam menetapkan riba sebagai larangan (diharamkan).
Definisi riba menurut Penjelasan pasal 2 huruf a UU Perbankan Syariah adalah:
Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

Sebenarnya riba dalam bentuk bunga utang juga dilarang dalam hukum Yahudi dan Kristen. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”  Para sarjana Kristen Abad XII – XVI menyatakan bahwa niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa, bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.”[12]
Al-Quran Surat (disingkat QS) Al-Baqarah ayat 275 yang mendalilkan: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan melarang riba.” Dalam QS Al-Baqarah ayat 278-279 ditentukan:
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba) ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak akan menganiaya dan tidak akan pula dianiaya.

Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Allah melaknat kepada pemakan riba, orang yang mengurus dan saksinya.” (Riwayat Bukhari). Rasulullah SAW juga menyatakan bahwa ada 73 pintu riba dan yang paling ringan seperti berzina dengan ibunya sendiri, tetapi sejahat-jahatnya riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim.[13]
Riba terdiri dari (1) riba fadhl, yaitu jual-beli pada benda-benda tertentu dengan melebihkan ukuran; (2) riba yad, yaitu jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan barangnya kepada pembeli; (3) riba nasi’ah, yaitu penambahan bunga karena waktu; dan (4) riba jahiliyyah, yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.[14]
Adiwarman A. Karim melihat riba fadhl ditemui pada transaksi jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai (spot). Riba nasi’ah ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan bunga tabungan, deposito, giro. Sedangkan riba jahiliyyah dapat ditemukan pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.[15]
Konsep suku bunga menjadi tulang punggung sistem kapitalis, sebagai alat mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan penawaran uang,  sebagai pendorong orang-orang yang mempunyai kelebihan uang agar mereka menabung atau menimbun. Dalam Islam, riba dan menimbun sama-sama dilarang. Dasarnya termasuk QS At-Taubah ayat 34.[16]
Berbagai fatwa tentang riba bunga bank di antaranya sebagai berikut:[17]
a.       Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo tahun 1968 mengeluarkan fatwa bahwa bank yang menggunakan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. Bunga bank yang dikeluarkan bank-bank negara (suku bunga lebih rendah daripada bank swasta) kepada nasabahnya termasuk perkara musytabihat (meragukan). Tahun 1989 Majelis Tarjih Muhammadiyah di Malang memutuskan bahwa koperasi simpan-pinjam hukumnya mubah, tetapi Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan satu keterangan tambahan bahwa tambahan pembayaran dalam koperasi simpan-pinjam hendaknya tidak melampaui laju inflasi.
b.      Lajnah Bahsaul Masa’il Nahdlatul Ulama (NU) di Bandar Lampung 1982 terdapat perbedaan pendapat, yaitu halal, haram dan syubhat. Namun Lajnah memutuskan memilih pendapat bahwa bunga bank itu hukumnya haram.
c.       Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan Desember 1970 menyetujui bahwa bunga bank hukumnya haram. Kesepakatan dalam Sidang OKI tersebut melatarbelakangi didirikannya Islamic Development Bank (IDB).
d.      Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir sejak tahun 1900 hingga 1989 selalu memutuskan bahwa bunga bank hukumnya haram.
e.       Para ulama besar dunia dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) pada Konferensi II KKID di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir Mei 1965 dengan tegas memutuskan bunga bank hukumnya haram.
f.       Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia menyatakan bahwa bunga bank itu riba dan haram.
g.      Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia juga menyatakan bunga bank itu riba dan haram.
h.      Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia pada 16 Desember 2003 menetapkan bahwa lembaga-lembaga keuangan yang menerapkan praktik bunga adalah haram, kecuali pada wilayah-wilayah yang belum terdapat kantor/jaringan lembaga keuangan syariah diperbolehkan dengan hukum darurat atau hajat (kebutuhan).
Ahmad Syarabasyi, menjelaskan bahwa pada dasarnya bunga bank itu riba, diharamkan, namun syariat tidak mengharamkan seseorang yang berutang kepada bank karena darurat/mendesak atau tidak ada jalan lain kecuali berutang kepada bank. Hal itu didasarkan pada kaidah syariat yang menyebutkan “adhdharuuraatu tubiihul mahzhuurat” atau “darurat itu membolehkan yang haram.”[18]
“Keadaan mendesak/darurat” yang dimaksudkan tersebut sebenarnya bersumber dari beberapa ayat Al-Qur`an, antara lain QS Al-Baqarah ayat 173, QS Al-Maidah ayat 3, QS Al-An’aam ayat 119 dan ayat 145, dan QS An-Nahl ayat 115. Keadaan darurat dalam ayat-ayat tersebut mensyaratkan kepada subyek hukumnya, yaitu: “hal yang tidak diinginkan, tidak  melampaui batas, karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, dan tidak menganiaya.”
Imam Ahmad bin Hambali menafsirkan keadaan darurat tersebut adalah keadaan jika seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak mau memakan sesuatu yang haram. Ibnu Taimiyah berkata bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan darurat wajib memakan atau meminum sesuatu yang dapat mempertahankan nyawanya. Imam Suyuthi menyatakan bahwa darurat ialah posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal jika ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati, atau khawatir salah satu anggata tubuhnya bisa celaka. [19]
Berdasarkan pendapat empat mazhab, yaitu Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi, semuanya menentukan keadaaan darurat terkait dengan tujuan penyelamatan jiwa (agar tidak mati).[20]
Berdasarkan prinsip-prinsip hukum darurat tersebut maka bunga bank tidak dapat diperbolehkan dengan alasan darurat, sebab hal itu tidak terkait dengan ancaman jiwa atau nyawa seseorang. Selain itu, sistem bunga dalam bank konvensional bukan merupakan hal yang tidak diinginkan dan praktiknyapun sudah sedemikian masif (bukan tak melampaui batas).
Terkait pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank itu syubhat (meragukan) maka menurut kaidahnya syubhat harus dihindari. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Sesungguhnya yang halal jelas dan yang haram nyata; tetapi di antara keduanya ada beberapa syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Oleh karena itu, barangsiapa yang menjauhi syubhat-syubhat sesungguhnya dia telah bersihkan agamanya dan dirinya; dan barangsiapa yang termasuk dalam syubhat akan termasuk kepada haram sebagaimana gembala yang menggembala di keliling batas, tidak lama ia akan jatuh padanya. Dan ketahuilah bahwa tiap-tiap milik ada batasnya! Dan ketahuilah bahwa batas Allah adalah larangan-laranganNya! Dan ketahuilah bahwa di tubuh ada sekepal daging yang apabila ia bersih maka bersihlah tubuh semuanya, dan apabila ia rusak, rusaklah tubuh semuanya. Dan ketahuilah, ia adalah hati! (Bukhari-Muslim).[21]

Alternatif yang diberikan untuk menghindari sistem riba adalah perbankan syariah. Bank syariah di Indonesia mulai tumbuh ketika UU Perbankan memberi akses yuridis pendirian bank syariah. Lalu disempurnakan dengan berlakunya UU Perbankan Syariah.  
Jenis-jenis kegiatan bank syariah dapat dilihat dalam pasal 19 dan 20  UU Perbankan Syariah, secara umum adalah menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat nasabah yang membutuhkan dengan sistem bagi hasil.
Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah alinea ketiga menjelaskan:
Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.

Selanjutnya kalimat terakhir alinea ke-lima Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah menjelaskan: 
Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Prinsip-prinsip perbankan syariah juga diuraikan dalam penjelasan pasal 2 UU Perbankan Syariah yang menjelaskan:
Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a.       riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b.      maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c.       gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d.      haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e.       zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka hukum perbankan syariah memberi dasar bahwa kegiatan perbankan syariah atas dasar ekonomi riil dengan cara berbagi hasil (return) dan risiko (risk). Para penyimpan dana di bank syariah tidak memperoleh bunga tetapi mendapatkan bagi hasil dari bank, sebab dananya dipergunakan oleh bank untuk pembiayaan-pembiayaan usaha riil dari nasabah yang menerima penyalurannya untuk investasi atau pembelian aset.
Namun, pada praktiknya pelaksanaan manajemen aset dari mudharabah dan musharakah seringkali tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada aset riil. Pada kenyataannya pengelolaan aset pada perbankan syariah masih terpusat pada Sertifikat Wadiah BI.[22]


2.        Percampuran Modal dan Kerjasama


Sebagaimana diuraikan di depan, di Indonesia beberapa bank syariah terbentuk dari hasil konversi bank konvensional, lalu menjadi anak perusahaan bank konvensional. Di tingkat cabang-cabang bank konvensional juga terjalin hubungan channeling office (saluran atau hubungan) dengan bank syariah. Bank-bank besar seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardin Fleming juga telah membuka Islamic Windows agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat Islam.[23]
Dalam keadaan seperti itu maka terjadilah percampuran dana bank konvensional dan kerjasama usaha antara yang riba dan haram dengan dengan yang halal, yang digunakan untuk mengembangkan bisnis bank syariah atau sebaliknya. Bank-bank syariah maupun unit-unit usaha syariah yang menjadi anak korporasi bank konvensional akan bekerja di bawah kendali manajemen bank konvensional. Modal bank konvensional dikonversi menjadi modal bank syariah, lalu diformulasikan secara hukum dalam komposisi kepemilikan saham di mana saham terbesar dimiliki perusahaan induk dari bank syariah yang merupakan bank konvensional.
Padahal, prinsip dan sistem bank konvensional jelas-jelas berlawanan dengan prinsip dan sistem bank syariah. Jika dana, modal serta manajemen bank konvensional dengan bank syariah dicampur maka akan menjadi problema yuridis tersendiri dalam perspektif hukum Islam.
Hukum Islam pada prinsipnya melarang perbuatan mencampur yang haq (benar, halal) dengan yang bathil (salah, haram), serta melarang kerjasama antara kebenaran dengan pelanggaran (dosa).
QS Al-Maidah ayat 2 menentukan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Selain itu, QS Al-Baqarah ayat 42 menentukan: “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.”
Dalam Qawaidul Ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam) ditentukan dalil: “idzaajtama’al khalalu wal kharaamu ghaalabal kharaam” atau  “bilamana berkumpul halal dan haram maka yang haram itu mengalahkan yang halal.”[24]  
Dalam hukum Islam berlaku prinsip bahwa barang halal dilarang dipergunakan keperluan yang dilarang. Sabda Nabi Muhammad SAW, “Barangsiapa membiarkan anggurnya pada masa petikan untuk dijualnya kepada orang yang menjadikannya arak maka sesungguhnya ia menempuh api neraka dengan sengaja.” (Thabarani dalam Ausath).[25]
Sebaliknya, barang haram juga tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang halal serta tidak boleh dikonsumsi. Rasulullah Muhammad SAW menetapkan: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual-beli arak dan bangkai dan babi dan berhala-berhala.” Lalu ada orang yang bertanya tentang bagaimana hukumnya jika gemuk bangkai digunakan untuk melabur perahu-perahu, untuk meminyaki kulit-kulit serta untuk minyak penerangan? Maka Rasulullah SAW menjawab, “Tidak boleh, itu haram.” Di waktu yang lain Rasulullah SAW juga bersabda, “Dilaknat oleh Allah orang Yahudi karena sesungguhnya Allah mengharamkan atas mereka gemuk (bangkai) itu, mereka hancurkan gemuk bangkai itu dan menjualnya serta memakan uangnya. (Bukhari-Muslim).[26]
Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah juga melarang harga anjing dan hasil lacur dan upahan tukang tilik atau tukang tenung. (Bukhari-Muslim).[27]
Berdasarkan beberapa ketentuan Al-Quran maupun Hadits-hadits tersebut, jika diterapkan dalam problema asal-usul modal bank syariah dari bank konvensional, percampurannya serta kerjasama kegiatan usahanya, dapat ditarik beberapa preskripsi yuridis sebagai berikut:
-          Dana bank konvensional tercampur riba dengan kegiatan mengandung riba dengan bank syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang halal, merupakan dua keadaan hukum yang berlawanan, yaitu bathil dengan haq, haram dan halal, maka seharusnya dana dan kegiatan bank konvensional dengan bank syariah tidak boleh dicampur dan tidak boleh dikerjasamakan, harus dipisahkan.
-          Dana bank konvensional yang tercampur riba (sehingga haram) tidak boleh digunakan sebagai kapital dan biaya-biaya operasional bank syariah yang halal.
-          Dana bank syariah yang diperoleh secara halal tidak boleh dipergunakan untuk mendanai kegiatan bank konvensional yang menjalankan sistem riba yang dilarang syariah.
Dalam soal tersebut kiranya berlaku hukum yang sama dengan praktik riba dalam bank konvensional, yakni tidak dapat menggunakan hukum darurat, sebagaimana dijelaskan dalam sub bab sebelumnya ini.
C.                PENUTUP
1.      Kesimpulan

a.        Bunga bank yang diterapkan dalam kegiatan usaha bank konvensional adalah riba yang dilarang atau diharamkan menurut hukum Islam, karenanya implementasi hukum Islam memberikan alternatif bank syariah dengan sistem bagi hasil usaha dan membagi risiko.

b.        Modal bank syariah yang berasal dari saham korporasi bank konvensional yang merupakan dana riba akan mengakibatkan kapital bank syariah dan hasil kegiatan usahanya juga menjadi riba yang diharamkan menurut hukum Islam. Demikian pula kerjasama kegiatan usaha bank konvensional dengan bank syariah bertentangan dengan hukum Islam karena dalam hukum Islam terdapat hukum larangan tolong-menolong (kerjasama) dalam perbuatan dosa atau salah.

2.      Saran
a.        Pendirian bank syariah hendaknya menggunakan modal yang steril dari uang riba, tidak menjadi bagian bank konvensional, dan diatur adanya larangan kerjasama usaha dan kepemilikan sahamnya yang dananya berasal dari uang riba.
b.        Bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya hendaknya diatur khusus oleh otoritas moneter syariah tersendiri, tidak diatur oleh BI. 

            [1] Http://www.bangkapos.com, 20 Oktober 2010.

[2] Lihat Penjelasan Umum alenia ke-tiga Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[3] Sumarti, Analisis Kinerja Keuangan Pada Bank Syariah Mandiri Di Jakarta, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007, hal. 47-49.

[6] H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, edisi keenam, 2000, hal. 70.
[7] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, edisi ketiga, 2007, hal. VIII.

[8] Business Week Indonesia, No. 31, 5 November 2008, hal. 042.

[9] http://www.suarakarya-online.com, 6 April 2009.

[10]Hidayatullah Muttaqin, Berapa Utang Pemerintah Indonesia?, http://jurnal-ekonomi.org, 22 Oktober 2010.

[11] Kwik Kian Gie, Aku Bermimpi Jadi Presiden, opini Kompas, 3 November 2010.
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Riba

[13]Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Bulughul Maraam (terjemahan A. Hassan), CV Pustaka Taman dan Pesantren Persatuan Islam Bangil, Bangil, 1991, hal. 427.

[15] Adiwarman A. Karim, op cit, hal. 41.

[16] Jalal Al Anshari, Mengenal Sistem Islam (terjemahan), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2009, hal. 153.

[17] H. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 113-120.

[18] Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa (terjemahan), Al Ikhlas, Surabaya, 1987, hal. 347-348.

[19] Dhorurot Dalam Perspektif Hukum Islam,  http://ppnululiman.com, 19 Juni 2010.

[20] M. Shiddiq Al-Jawi, Bolehkah Riba Dengan Alasan Darurat?, http://www.jurnal-ekonomi.org, 6 April 2004.

[21] Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, op cit, hal. 786.

[22]Sofyan Rizal, Kontrak Mudharabah, Permasalahan dan Alternatif Solusi,  http://alhikmah.ac.id

[23] Adiwarman A. Karim, opcit, hal. 24.
[24] H. Moh Anwar, Fiqih Islam Mu’amalah, Munakahat, Faro’id & Jinayah (Hukum Perdata & Pidana Islam) Beserta Kaedah-kaedah Hukumnya, PT. Alma’arif, Subang, cet. kedua 1988, hal. 363.

             [25] Ibnu Hajr Al ‘Asqalani, op cit, hal. 419.

            [26] Ibid, hal. 399.

           [27] Ibid.

No comments:

Post a Comment