Saturday, August 25, 2012

Penyelesaian Sengketa Informasi Publik



PENGANTAR

Perkembangan negara hukum demokratis Indonesia dapat dilihat dari amandemen UUD 1945 dalam rangka reformasi hukum, di mana ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia (HAM) dimasukkan sebagai substansi konstitusi secara lebih rinci, selain menerbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 28 f UUD 1945 menentukan:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 menentukan:

(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Hak atas informasi tersebut dalam konstruksi UU No. 39 Tahun 1999 termasuk hak untuk mengembangkan diri.
Pada tahun 2008 diterbitkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (disebut juga UU KIP). Konsideran huruf b dan c UU KIP menentukan:
b.   bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik;
c.   bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik;
UU KIP juga menyebutkan Pasal 28 f UUD 1945, sehingga jelaslah bahwa UU KIP merupakan salah satu undang-undang organik untuk melaksanakan Pasal 28 f UUD 1945 tentang hak atas informasi.
Dengan demikian maka hak atas informasi merupakan bagian dari HAM. Pelanggaran terhadap hak atas informasi merupakan pelanggaran HAM.

PERMASALAHAN

Beberapa permasalahan dalam pemenuhan hak atas informasi kepada warga negara Indonesia selaku subyek hukum yang berhak atas informasi publik dapat dirinci diantaranya:
1.   Belum tuntasnya pemahaman aparatur pemerintah/negara dan masyarakat tentang HAM, termasuk hak atas informasi. (Dalam konsepsi HAM di Indonesia dikenal juga kewajiban asasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28 J UUD 1945).
2.  Lemahnya semangat perubahan dalam reformasi yang disebabkan oleh etos kepemimpinan yang kurang progresif sehingga dalam beberapa hal masyarakat yang membutuhkan informasi publik masih belum dipenuhi sebagaimana mestinya.
3.   Kurangnya sosialisasi pelaksanaan UU KIP.
4.   Kemungkinan terjadinya interpretasi yang berbeda dalam penerapan UU KIP, termasuk dalam menilai informasi mana yang bersifat rahasia. 

PENYELESAIAN SENGKETA

Sengketa informasi publik yang dimaksudkan di sini adalah sengketa antara pemohon informasi dengan Badan Publik akibat permohonan informasi publik yang diajukan pemohon informasi publik yang ditanggapi tidak sesuai dengan kehendak pemohon informasi publik atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi.
Kriteria Badan Publik berdasarkan definisinya menurut pasal 1 UU No, 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) adalah:

1. Badan atau lembaga negara atau pemerintah, yang unsur-unsurnya:

-   lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, atau lembaga lain,
-   fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara,
-   sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN dan atau APBD;
2. Organisasi nonpemerintah, yang unsur-unsurnya:
-   organisasi non pemerintah
-   sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
     Dalam upaya permintaan informasi publik dapat terjadi fakta:
     -      Tidak semua Badan Publik yang dimintai informasi publik bersedia memberikan informasi publik;
 -       Ada Badan Publik yang memberikan informasi publik, namun informasi yang diminta tidak semuanya  diberikan.
Secara umum, upaya yang dapat ditempuh Pemohon Informasi Publik adalah sebagai berikut:
1.   Upaya Keberatan (Bagian I Bab VIII UU KIP)
Upaya keberatan diajukan kepada Atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dengan alasan:
-   penolakan atas permintaan informasi dengan alasan adanya pengecualian informasi publik menurut pasal 17 UU KIP;
-     tidak disediakannya informasi berkala menurut pasal 9 UU KIP;
-     permintaan informasi ditanggapi sebagaimana yang diminta;
-     permintaan informasi tidak ditanggapi (tidak ada jawaban);
-     permintaan informasi tidak dipenuhi (ada jawaban);
-     dibebani biaya tidak wajar; atau
-     pemberian informasi yang diminta melebihi waktu yang ditentukan UU KIP.
      Upaya Keberatan ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditemukan alasan tersebut di atas.
Atasan PPID memberikan tanggapan terhadap keberatan tersebut selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterima keberatan secara tertulis.
Dalam hal Atasan Pejabat tersebut menguatkan keputusan bawahannya maka ia memberikan alasan tertulis yang disertakan bersama tanggapannya.
2.   Upaya Melalui Komisi Informasi (Bagian II Bab VIII UU KIP)
Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan upaya penyelesaian melalui Komisi Informasi provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai wewenangnya jika tidak puas dengan tanggapan Atasan PPID tersebut. Upaya ini hanya dapat ditempuh jika upaya keberatan tersebut telah ditempuh (penjelasan pasal 37 ayat 1 UU KIP).
Pengajuan upaya penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari Atasan PPID tersebut.
Komisi Informasi mengupayakan penyelesaian sengketa informasi publik tersebut melalui Medias dan atau Ajudikasi paling lambat 14 hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik tersebut.
Proses penyelesaian sengketa di Komisi Informasi tersebut paling lambat 100 hari kerja.
Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan dalam mediasi bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini Komisi Informasi bertindak sebagai mediator.
Jika proses mediasi tidak menghasilkan kesepakatan maka penyelesaian sengketa informasi publik dilakukan melalui Ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi Informasi.
Cara menentukan ketidakberhasilan proses mediasi adalah:
-    Mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau semua pihak yang bersengketa; atau
-     Salah satu pihak atau para pihak dalam sengketa menarik diri dari perundingan.
Selanjutnya Komisi Informasi membentuk majelis sidang Komisi Informasi terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) orang anggota komisi atau lebih yang harus berjumlah ganjil (gasal), dan melaksanakan sidang pemeriksaan perkara dan pengambilan putusan bersifat terbuka untuk umum, kecuali dalam sidang berkaitan dengan dokumen informasi yang dikecualikan menurut pasal 17 UU KIP maka sidang dilakukan tertutup.
Dalam pemeriksaan ajudikasi dalam sidang Komisi Informasi, pemohon dan termohon dapat diwakili dengan kuasa khusus untuk itu.
Sistem pembuktian menurut pasal 45 UU KIP, adalah pembuktian terbalik, di mana Badan Publik selaku termohon harus membuktikan bahwa informasi yang tidak diberikannya kepada pemohon merupakan informasi dengan alasan pasal 17 jo. pasal 35 ayat 1 UU KIP, serta wajib menyampaikan alasan yang mendukung sikapnya apabila pemohon informasi publik mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik karena berdasarkan pasal 35 ayat 1 b sampai dengan huruf g.
Dalam mengambil putusan sengketa informasi publik, jika ada anggota komisi yang pendapatnya berbeda maka pendapatnya dilampirkan dalam putusan dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam putusan itu.
3.  Upaya Gugatan ke Pengadilan (Bab X UU KIP).
Upaya gugatan melalui Pengadilan hanya dapat ditempuh jika salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa menyatakan secara tertulis bahwa tidak menerima putusan Ajudikasi Komisi Informasi, paling lambat 14 hari kerja setelah menerima putusan Ajudikasi tersebut.
Gugatan kepada Badan Hukum Publik negara diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sedangkan gugatan kepada Badan Hukum selain Badan Publik negara diajukan melalui Pengadilan Negeri (PN).
Sidang di pengadilan sengketa informasi publik bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap informasi yang dikecualikan.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak menerima putusan PTUN atau PN dalam sengketa informasi publik maka dapat diajukan upaya kasasi dalam waktu paling lambat 14 hari sejak diterimanya putusan tersebut.
Selain penyelesaian melalui prosedur administratif tersebut di depan, dimungkinkan pula adanya upaya hukum pidana. Tuntutan Pidana UU KIP merupakan delik aduan dan diajukan melalui peradilan umum (pasal 57).
Bentuk-bentuk tindak pidana informasi publik antara lain:
1.  Penggunaan informasi publik secara sengaja secara melawan hukum dipidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimum Rp. 5 juta (pasal 51).
2.  Badan Publik yang sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan atau tidak menerbitkan informasi publik berkala, informasi publik yang diwajibkan diumumkan serta merta, yang diwajibkan tersedia setiap saat, dan/atau yang harus diberikan berdasarkan permintaan, yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dipidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimum Rp. 5 juta. (pasal 52)
3.  Perusakan, penghancuran, dan/atau penghilangan sengaja secara melawan hukum dokumen informasi publik dalam bentuk apapun yang dilindungi negara dan/atau berkaitan dengan kepentingan umum, dipidana penjara maksimum 2 tahun dan/atau denda maksimum Rp. 10 juta (pasal 53).
4.  Pengaksesan, perolehan dan/atau pemberian sengaja dan tanpa hak terhadap informasi yang dikecualikan yang ditentukan pasal 17 a, b, d, f, g, h, i dan j, dipidana penjara maksimum 2 tahun dan/atau denda maksimum Rp. 10 juta (pasal 54 ayat 1), sedangkan untuk pasal 17 huruf c dan e diancam pidana penjara maksimum 3 tahun dan/atau denda maksimum Rp. 20 juta. (pasal 54 ayat 2).
5.  Pembuatan informasi publik yang tidak benar atau sesat, secara sengaja, yang mengakibatkan kerugian orang lain dipidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimum Rp. 5 juta. (pasal 55).
Berdasarkan penjelasan pasal 51-55 UU KIP, dikenal pemidanaan terhadap perorangan, kelompok orang, badan hukum dan badan publik.

CATATAN KRITIS TERHADAP UU KIP
1.  Hak selaku Pemohon informasi Publik hanya diberikan kepada warga negara dan atau badan hukum (pasal 1 angka 12 UU KIP) sehingga organisasi-organisasi rakyat yang tidak berbadan hukum bisa ditolak permohonannya). Ketentuan ini melanggar hak konstitusional perkumpulan-perkumpulan/perserikatan rakyat  nonbadan hukum.
2.  Hukum Acara Peradilan sengketa informasi publik tidak menentukan jangka waktu penyelesaian yang tegas. Hal ini juga sebagai ciri bahwa UU KIP bukan UU yang berkualifikasi sebagai regulasi layanan yang berstandard pasti (dapat menimbulkan ketidakpastian layanan peradilan).
3.  Ketentuan pidana dalam UU KIP juga tidak secara tegas mengatur tatacara upaya hukum, apakah upaya hukum perdata dan pidana dapat diajukan bersama-sama, ataukah upaya hukum pidana dapat diajukan apabila telah ada penyelesaian upaya hukum perdatanya. Hal ini dapat menimbulkan kekacauan atau tumpang tindih dalam penyelesaian perdata dan pidana.

Demikian materi ini dibuat tanggal 16 Juli 2012, disampaikan untuk para pejabat eselon III Pemerintah Kota Pasuruan.