PENGANTAR
Perkembangan
negara hukum demokratis Indonesia dapat dilihat dari amandemen UUD 1945 dalam
rangka reformasi hukum, di mana ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia
(HAM) dimasukkan sebagai substansi konstitusi secara lebih rinci, selain
menerbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 28 f UUD 1945
menentukan:
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pasal 14 UU No. 39
Tahun 1999 menentukan:
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana
yang tersedia.
Hak atas informasi
tersebut dalam konstruksi UU No. 39 Tahun 1999 termasuk hak untuk mengembangkan
diri.
Pada tahun 2008 diterbitkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (disebut juga UU KIP). Konsideran huruf b dan c UU
KIP menentukan:
b. bahwa hak memperoleh informasi
merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah
satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik;
c. bahwa keterbukaan informasi
publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap
penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang
berakibat pada kepentingan publik;
UU
KIP juga menyebutkan Pasal 28 f UUD 1945, sehingga jelaslah bahwa UU KIP
merupakan salah satu undang-undang organik untuk melaksanakan Pasal 28 f UUD
1945 tentang hak atas informasi.
Dengan
demikian maka hak atas informasi merupakan bagian dari HAM. Pelanggaran
terhadap hak atas informasi merupakan pelanggaran HAM.
PERMASALAHAN
Beberapa
permasalahan dalam pemenuhan hak atas informasi kepada warga negara Indonesia
selaku subyek hukum yang berhak atas informasi publik dapat dirinci
diantaranya:
1. Belum tuntasnya pemahaman aparatur
pemerintah/negara dan masyarakat tentang HAM, termasuk hak atas informasi.
(Dalam konsepsi HAM di Indonesia dikenal juga kewajiban asasi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 28 J UUD 1945).
2. Lemahnya semangat perubahan dalam
reformasi yang disebabkan oleh etos kepemimpinan yang kurang progresif sehingga
dalam beberapa hal masyarakat yang membutuhkan informasi publik masih belum
dipenuhi sebagaimana mestinya.
3. Kurangnya sosialisasi pelaksanaan UU KIP.
4. Kemungkinan terjadinya interpretasi yang
berbeda dalam penerapan UU KIP, termasuk dalam menilai informasi mana yang
bersifat rahasia.
PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa informasi publik yang dimaksudkan di sini adalah
sengketa antara pemohon informasi dengan Badan Publik akibat permohonan
informasi publik yang diajukan pemohon informasi publik yang ditanggapi tidak
sesuai dengan kehendak pemohon informasi publik atau bahkan sama sekali tidak
ditanggapi.
Kriteria Badan Publik berdasarkan
definisinya menurut pasal 1 UU No, 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) adalah:
1. Badan atau lembaga negara atau
pemerintah, yang unsur-unsurnya:
- lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
atau lembaga lain,
- fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara,
- sebagian atau seluruh dananya bersumber
APBN dan atau APBD;
2.
Organisasi nonpemerintah, yang unsur-unsurnya:
- organisasi non pemerintah
- sebagian atau seluruh dananya bersumber
APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Dalam
upaya permintaan informasi publik dapat terjadi fakta:
- Tidak semua Badan Publik yang dimintai
informasi publik bersedia memberikan informasi publik;
- Ada Badan Publik yang memberikan
informasi publik, namun informasi yang diminta tidak semuanya diberikan.
Secara
umum, upaya yang dapat ditempuh Pemohon Informasi Publik adalah sebagai
berikut:
1. Upaya Keberatan (Bagian I Bab VIII UU
KIP)
Upaya keberatan diajukan kepada Atasan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID), dengan alasan:
- penolakan atas permintaan informasi
dengan alasan adanya pengecualian informasi publik menurut pasal 17 UU KIP;
- tidak disediakannya informasi berkala
menurut pasal 9 UU KIP;
- permintaan informasi ditanggapi
sebagaimana yang diminta;
- permintaan informasi tidak ditanggapi
(tidak ada jawaban);
- permintaan informasi tidak dipenuhi (ada
jawaban);
- dibebani biaya tidak wajar; atau
- pemberian informasi yang diminta melebihi
waktu yang ditentukan UU KIP.
Upaya
Keberatan ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditemukan alasan
tersebut di atas.
Atasan PPID memberikan tanggapan terhadap keberatan
tersebut selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterima keberatan secara
tertulis.
Dalam hal Atasan Pejabat tersebut menguatkan keputusan
bawahannya maka ia memberikan alasan tertulis yang disertakan bersama
tanggapannya.
2. Upaya Melalui Komisi Informasi (Bagian II
Bab VIII UU KIP)
Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan upaya
penyelesaian melalui Komisi Informasi provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai
wewenangnya jika tidak puas dengan tanggapan Atasan PPID tersebut. Upaya ini
hanya dapat ditempuh jika upaya keberatan tersebut telah ditempuh (penjelasan
pasal 37 ayat 1 UU KIP).
Pengajuan upaya penyelesaian sengketa informasi publik
kepada Komisi Informasi selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah diterimanya
tanggapan tertulis dari Atasan PPID tersebut.
Komisi Informasi mengupayakan penyelesaian sengketa informasi
publik tersebut melalui Medias dan atau Ajudikasi paling lambat 14 hari kerja
setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik tersebut.
Proses penyelesaian sengketa di Komisi Informasi tersebut
paling lambat 100 hari kerja.
Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan
dalam mediasi bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini Komisi Informasi
bertindak sebagai mediator.
Jika proses mediasi tidak menghasilkan kesepakatan maka
penyelesaian sengketa informasi publik dilakukan melalui Ajudikasi nonlitigasi
oleh Komisi Informasi.
Cara menentukan ketidakberhasilan proses mediasi adalah:
- Mediasi dinyatakan tidak berhasil secara
tertulis oleh salah satu atau semua pihak yang bersengketa; atau
- Salah satu pihak atau para pihak dalam
sengketa menarik diri dari perundingan.
Selanjutnya Komisi Informasi membentuk majelis sidang
Komisi Informasi terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) orang anggota komisi atau
lebih yang harus berjumlah ganjil (gasal), dan melaksanakan sidang pemeriksaan
perkara dan pengambilan putusan bersifat terbuka untuk umum, kecuali dalam
sidang berkaitan dengan dokumen informasi yang dikecualikan menurut pasal 17 UU
KIP maka sidang dilakukan tertutup.
Dalam pemeriksaan ajudikasi dalam sidang Komisi Informasi,
pemohon dan termohon dapat diwakili dengan kuasa khusus untuk itu.
Sistem pembuktian menurut pasal 45 UU KIP, adalah pembuktian
terbalik, di mana Badan Publik selaku termohon harus membuktikan bahwa
informasi yang tidak diberikannya kepada pemohon merupakan informasi dengan
alasan pasal 17 jo. pasal 35 ayat 1 UU KIP, serta wajib menyampaikan alasan
yang mendukung sikapnya apabila pemohon informasi publik mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa informasi publik karena berdasarkan pasal 35 ayat 1 b
sampai dengan huruf g.
Dalam mengambil putusan sengketa informasi publik, jika ada
anggota komisi yang pendapatnya berbeda maka pendapatnya dilampirkan dalam
putusan dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam putusan itu.
3. Upaya Gugatan ke Pengadilan (Bab X UU KIP).
Upaya gugatan melalui Pengadilan hanya dapat ditempuh jika
salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa menyatakan secara tertulis
bahwa tidak menerima putusan Ajudikasi Komisi Informasi, paling lambat 14 hari
kerja setelah menerima putusan Ajudikasi tersebut.
Gugatan kepada Badan Hukum Publik negara diajukan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sedangkan gugatan kepada Badan Hukum
selain Badan Publik negara diajukan melalui Pengadilan Negeri (PN).
Sidang di pengadilan sengketa informasi publik bersifat
terbuka untuk umum, kecuali terhadap informasi yang dikecualikan.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak menerima
putusan PTUN atau PN dalam sengketa informasi publik maka dapat diajukan upaya
kasasi dalam waktu paling lambat 14 hari sejak diterimanya putusan tersebut.
Selain penyelesaian
melalui prosedur administratif tersebut di depan, dimungkinkan pula adanya
upaya hukum pidana. Tuntutan Pidana UU KIP merupakan delik aduan dan diajukan
melalui peradilan umum (pasal 57).
Bentuk-bentuk
tindak pidana informasi publik antara lain:
1. Penggunaan informasi publik secara
sengaja secara melawan hukum dipidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan/atau
denda maksimum Rp. 5 juta (pasal 51).
2. Badan Publik yang sengaja tidak
menyediakan, tidak memberikan dan atau tidak menerbitkan informasi publik
berkala, informasi publik yang diwajibkan diumumkan serta merta, yang
diwajibkan tersedia setiap saat, dan/atau yang harus diberikan berdasarkan
permintaan, yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dipidana penjara
maksimum 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimum Rp. 5 juta. (pasal 52)
3. Perusakan, penghancuran, dan/atau
penghilangan sengaja secara melawan hukum dokumen informasi publik dalam bentuk
apapun yang dilindungi negara dan/atau berkaitan dengan kepentingan umum,
dipidana penjara maksimum 2 tahun dan/atau denda maksimum Rp. 10 juta (pasal
53).
4. Pengaksesan, perolehan dan/atau pemberian
sengaja dan tanpa hak terhadap informasi yang dikecualikan yang ditentukan
pasal 17 a, b, d, f, g, h, i dan j, dipidana penjara maksimum 2 tahun dan/atau
denda maksimum Rp. 10 juta (pasal 54 ayat 1), sedangkan untuk pasal 17 huruf c
dan e diancam pidana penjara maksimum 3 tahun dan/atau denda maksimum Rp. 20
juta. (pasal 54 ayat 2).
5. Pembuatan informasi publik yang tidak
benar atau sesat, secara sengaja, yang mengakibatkan kerugian orang lain
dipidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimum Rp. 5 juta.
(pasal 55).
Berdasarkan
penjelasan pasal 51-55 UU KIP, dikenal pemidanaan terhadap perorangan, kelompok
orang, badan hukum dan badan publik.
CATATAN KRITIS TERHADAP UU KIP
1. Hak selaku Pemohon informasi Publik hanya
diberikan kepada warga negara dan atau badan hukum (pasal 1 angka 12 UU KIP)
sehingga organisasi-organisasi rakyat yang tidak berbadan hukum bisa ditolak
permohonannya). Ketentuan ini melanggar hak konstitusional
perkumpulan-perkumpulan/perserikatan rakyat
nonbadan hukum.
2. Hukum Acara Peradilan sengketa informasi
publik tidak menentukan jangka waktu penyelesaian yang tegas. Hal ini juga
sebagai ciri bahwa UU KIP bukan UU yang berkualifikasi sebagai regulasi layanan
yang berstandard pasti (dapat menimbulkan ketidakpastian layanan peradilan).
3. Ketentuan pidana dalam UU KIP juga tidak
secara tegas mengatur tatacara upaya hukum, apakah upaya hukum perdata dan
pidana dapat diajukan bersama-sama, ataukah upaya hukum pidana dapat diajukan
apabila telah ada penyelesaian upaya hukum perdatanya. Hal ini dapat
menimbulkan kekacauan atau tumpang tindih dalam penyelesaian perdata dan
pidana.
Demikian materi
ini dibuat tanggal 16 Juli 2012, disampaikan untuk para pejabat eselon III Pemerintah Kota Pasuruan.