Wednesday, March 14, 2012

Quo Vadis Reforma Agraria: Paradigma dan Prioritas Pembangunan dalam Hegemoni Tirani Korporasi

QUO VADIS REFORMA AGRARIA: PARADIGMA DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DALAM HEGEMONI TIRANI KORPORASI[1]


 Oleh: Subagyo[2]



 MUKADIMAH



            Kasus-kasus sengketa pertanahan yang terjadi dari tahun ke tahun semakin menunjukkan belum optimalnya keadilan dalam bidang pertanahan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sebanyak 71,1 persen luas daratan Indonesia masuk dalam kawasan hutan, dimana lebih 25 juta hektar dikuasai Hak Pengusahaan Hutan (HPH), lebih 8 juta hektar dikuasai hutan tanaman industri (HTI) dan 12 juta hektar dikuasai perkebunan besar sawit. Sementara itu, sekitar 85 persen petani Indonesia tak mempunyai tanah dan petani gurem (berlahan sempit).[3]
            Sengketa pertanahan terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama dalam bentuk sengketa hak. Pada umumnya sengketa terjadi antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan, swasta maupun perusahaan negara, serta  sengketa dengan TNI. Dalam konflik pertanahan tersebut seringkali terjadi kekerasan di mana perusahaan berkonspirasi dengan kepolisian atau dengan aparat TNI. Contohnya dalam kasus Mesuji, kasus tanah Sendi di Pacet, Mojokerto (antara warga dengan Perhutani), kasus Margorukun Lestari di Malangsari, Kalibaru, Banyuwangi (antara warga dengan PTPN XII), kasus tanah di Sadar Tengah, Mojoanyar, Mojokerto (antara warga dengan PT. Tjiwi Kimia), kasus tanah waduk Dukuh Sepat, Lidah Kulon, Surabaya, dan lain-lain. Penulis juga pernah melihat dalam kasus penambangan tanah sirtu di Raci, Pasuruan dan sekitarnya di mana warga setempat tidak berkutik menghadapi represi kepolisian.
            KPA mencatat, dalam rentang waktu 1970-2001 jumlah konflik agraria yang terjadi mencapai 1.753 kasus di 286 kabupaten/kota. Luas tanah yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektare dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 keluarga menjadi korban.[4]
            Laporan akhir tahun KPA, tahun 2011 mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh Indonesia. (Sedangkan tahun 2010 terjadi sebanyak 106 konflik). Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960 %), 36 kasus di sektor kehutanan (22 %), dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir (1 %). Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa agraria terbanyak di Jawa Timur dengan 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5 kasus, dan sisanya tersebar di sebagian besar provinsi di Indonesia.[5]
            Data KPA tersebut tentu saja dimungkinkan belum mencerminkan jumlah riil sengketa agraria di Indonesia sebab jangkauan KPA yang memang belum memungkinkan meneliti seluruh sudut agraria di negara ini.



BEBERAPA PENJELASAN

1.      Reforma agraria

         Istilah reforma agraria atau pembaruan agraria (agrarian reform) lebih luas dibandingkan dengan reforma pertanahan (landreform). Dalam Penjelasan Umum UUPA angka II dijelaskan:
         "(1)   Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1, yang menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa : "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".



Dengan demikian pengertian angraria meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu, reforma agraria menyangkut pembaharuan seluruh sumber daya alam. Sedangkan reforma pertanahan (landreform) adalah bagian dari reforma agraria, yakni pembaharuan yang khusus dilakukan di bidang pertanahan, terutama penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

         
        Reforma agraria dilakukan dengan kebijakan negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 TAP  MPR  No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yaitu:

(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

b.  Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

c.  Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d.  Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

e.  Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.

f.  Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konllik sumber daya agraria yang terjadi.

(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

b.  Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.

c.   Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

d.   Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.

e.  Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

f.    Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.



Dengan demikian kegiatan yang harus dilakukan penyelenggara negara yang berwenang dalam rangka reforma agraria antara lain, sekurang-kurangnya, meliputi:

-         pembaruan peraturan perundang-undangan di bidang agraria,

-         pendataan tanah dalam rangka dilakukannya landreform,

-         pelaksanaan landreform,

-         penyelesaian dan antisipasi konflik-konflik agraria,

-         penguatan lembaga-lembaga agraria dalam rangka pelaksanaan reforma agraria, dan

-         pembiayaan program reforma agraria.



2.     Quo Vadis

        Quo vadis merupakan kosa kata Bahasa Latin, yang artinya adalah “Ke mana engkau pergi?”.  Istilah ini         diambil dari Kitab Perjanjian Baru, Injil Yohanes, Bab 16 ayat 5: “Tetapi sekarang Aku pergi kepada  Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi?"[6]

Istilah quo vadis ini banyak digunakan dalam berbagai tulisan, yang diberikan arti sesuai dengan kehendak penulisnya, terutama menyampaikan “hilangnya arah” suatu agenda atau bahkan sebaliknya “berlawanan” atau “menyimpang”  dengan/dari arah yang telah ditetapkan, sehingga perlu dipertanyakan “Mau ke mana?”

Dalam persoalan reforma agraria yang telah menjadi garis kebijakan negara, menjadi politik hukum negara, dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana sejarah reforma agraria, perkembangannya, mengapa mengalami kemandegan, apa penyebab-penyebab gagalnya atau kendala-kendala reforma agraria di Indonesia, sehingga jalan yuridis konstitusional reforma agraria sulit dilaksanakan di Indonesia. Keberlanjutan konflik-konflik agraria yang terjadi dapat dipandang sebagai salah satu tanda ketidakberhasilan reforma agraria di negara ini.

“Ke mana engkau pergi, hai reforma agraria, sehingga negara ini tetap saja penuh konflik agraria hingga hari ini dan ke mana engkau akan pergi, dengan melihat Indonesia yang tak kunjung tercipta kesejahteraan rakyat secara merata?” Begitulah ilustrasi penjelasan judul tulisan ini dibuat, dimana reforma agraria dipandang sebagai suatu entitas arah kebijakan negara yang secara historis dan filosofis merupakan bagian dari revolusi Indonesia yang melawan penindasan dan penghisapan dalam konteks perlawanan terhadap kapitalisme dan feodalisme.



SEKELUMIT SEJARAH REFORMA AGRARIA

            Sebenarnya untuk mencegah terjadinya konflik di bidang pertanahan sejak lama telah disusun peraturan perundang-undangan tentang reforma agraria. Setelah pemerintahan Orde Lama menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) maka selanjutnya membuat kebijakan terkait dengan redistribusi tanah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Hal itu dilandasi pula prinsip dasar Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Semangat politik hukum reforma agraria pada mulanya tampak dirumuskan dalam TAP MPRS RI Nomor I dan II/MPRS/1960 yang menentukan beberapa landasan filosofis pembangunan yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia, kemandirian ekonomi, anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform (pembaruan pertanahan) sebagai agenda pokoknya.

Pada tanggal 17 Agustus 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato bahwa landreform adalah bagian dari revolusi. Soekarno menggambarkan pentingnya landreform dengan menyatakan bahwa revolusi tanpa landreform sama halnya dengan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang, omong besar tanpa isi. Landreform merupakan satu bagian yang mutlak dari revolusi.[7]

Lebih lanjut Soekarno menjelaskan usulan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tentang landreform tersebut pada waktu itu bertujuan melakukan penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di sisi lain untuk memperluas dan memperkuat pemilikan tanah untuk rakyat Indonesia terutama kaum tani.[8]

Reforma Agraria pada masa Orde Lama belum tuntas. Pemerintahan Orde Lama tumbang dengan isu politik pemberontakan PKI tahun 1965 di mana Presiden Soekarno dianggap bertanggung jawab terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Rupanya isu tersebut bersifat politis mengingat Soekarno jelas-jelas sebagai salah satu perumus ide tentang Pancasila yang tidak mengambil dari paham komunisme.

 Sumber sejarah lainnya menyatakan bahwa jatuhnya Presiden Soekarno disinyalir karena adanya rekayasa dimana Soekarno dianggap menghalangi kepentingan-kepentingan kapital asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.[9] Hal tersebut dapat dikaitkan dengan semangat Presiden Soekarno dalam agenda revolusinya yang melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing yang akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana pemerintahannya pada waktu itu. Seorang Jerman yang pernah berada di Indonesia di masa-masa revolusi itu, bernama Horst Henry Geerken menulis buku A Magic Gecko, Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno, menjelaskan bagaimana peran Amerika Serikat untuk menjatuhkan Soekarno.

Dari sejarah awal reforma agraria tersebut dapat ditarik konklusi fakta sejarah bahwa kegagalan reforma agraria yang dilakukan Pemerintahan Orde Lama ternyata tidak lepas dari kuatnya campur tangan kekuatan ekonomi asing yang menghendaki pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Pada masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa reforma agraria kehilangan arah dan tenggelam dalam euforia penggalangan kapital asing di Indonesia. Pada zaman pemerintahan Suharto dibuka kran kebebasan modal asing masuk ke Indonesia. Dengan prinsip memudahkan dan perlindungan kepada investor asing maka aparat kepolisian dan TNI dikerahkan untuk membersihkan halangan-halangan berdirinya perusahaan-perusahaan asing. Freeport yang semula sudah mengincar kekayaan Papua, pada tahun 1967 mulai menandatangani kontrak dengan Pemerintah Orde Baru dan leluasa melakukan eksplorasi di tambang Erstberg yang dilanjutkan dengan tambang Grasberg tahun 1988.[10]  Operasi tambang Freeport diperkirakan memakan korban penduduk tewas sekitar sebanyak 500 ribu orang dengan menggunakan kekerasan militer.[11]

Tahun 1967 itu juga Mobil Oil Corporation mulai beroperasi dalam pertambangan migas di Aceh yang selanjutnya melakukan merjer dengan Exxon. Bagi penduduk setempat, keberadaan Exxon dianggap kontroversi karena melakukan perampasan tanah tanpa kompensasi yang cukup serta mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Exxon di Aceh juga menggandeng militer yang bahkan melakukan pelanggaran HAM kepada penduduk setempat yang tetap berada dalam kemiskinan.[12] Kasus hampir serupa juga terjadi di Sulawesi Utara dengan pelaku modal asing bernama Newmont. Kasus terbaru adalah masalah lumpur Lapindo di mana Lapindo Brantas Inc. menguasai lahan konsesi tambang minyak dan gas bumi yang membentang dari Grati, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto hingga wilayah Kabupaten Jombang.[13]

Pada zaman Orde Baru dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan yang sama sekali tidak ada ketentuan mengakui adanya hutan wilayah hak ulayat masyarakat adat sehingga dengan dalih kepentingan nasional maka di dalamnya diberikan izin-izin pengusahaan hutan dan konsesi pertambangan yang melanggar hak masyarakat adat.

Zaman Orde Baru seringkali dilakukan pembebasan tanah rakyat secara paksa, seperti pula terjadi dalam kasus Kedung Ombo, Jenggawah, dan lain-lain. Saat itu persentase para petani yang tidak mempunyai tanah pertanian adalah antara 38 – 58 persen.[14] Untuk mengatasi sempitnya lahan pertanian di Jawa maka pemerintah Orde Baru menggalakkan program transmigrasi bagi para penduduk Jawa ke luar Jawa.

Para zaman reformasi boleh dikata hanyalah sebagai kelanjutan pemerintahan Orde Baru yang lebih banyak pada perubahan kehidupan dan hak sipil serta politik. Sedangkan perkembangan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya masih tetap dikalahkan oleh kepentingan penggalangan investasi. Pada tahun 2001 dikeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, namun hingga sekarang amanat MPR yang diberikan kepada pemerintah tersebut tidak dilaksanakan dengan baik.

Pada tahun 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam regulasi tersebut ditentukan agenda kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 termasuk dengan penataan kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertanahan. Tetapi selanjutnya Keputusan Presiden tersebut juga tidak efektif untuk diimplementasikan dalam kerangka reforma agraria.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 juga menyampaikan gagasan tentang dilaksanakannya reforma agraria. Dari pemberitaan media massa terakhir, diketahui oleh publik bahwa Tanah Negara yang hendak diredistribusi adalah sekitar 9,25 juta hektar yang terdiri dari 1,1 juta hektar merupakan tanah-tanah yang menurut UU sudah bisa diperuntukan bagi landreform, dan 8,15 juta hektar merupakan tanah-tanah yang berstatus kawasan hutan produkti konversi. Menurut Kepala BPN, Joyo Winoto, pihak pemerintah (BPN dan Departemen Kehutanan) masih akan melakukan indentifikasi dan penghitungan kembali terhadap sejumlah lahan yang mungkin dapat diredistribusikan melalui program ini.[15]



KEMBALI KE JALAN YANG BENAR



            Kegagalan reforma agraria hingga kini tidak terlepas dari faktor halangan yang berupa intervensi kekuasaan penguasa modal, kesesatan paradigma, dan prioritas dalam pembangunan nasional yang tidak lagi menjadikan pembangunan pertanian sebagai agenda utama. Meskipun di dunia ini kebijakan reforma agraria menjadi hal yang lumrah, namun pelaksanaannya akan tergantung pada kedua faktor tersebut, yakni paradigma dan prioritas pembangunan. Sedangkan intervensi kekuasaan modal baik secara halus maupun kasar (seperti contohnya rekayasa untuk menjatuhkan Soekarno, percobaan kudeta terhadap Presiden Hugo Chavez, dan lain-lain) merupakan faktor yang sangat menentukan.

            Paradigma itu menyangkut cara pandang kita dalam bernegara, terutama dalam pembangunan perekonomian. Jika agraria dipandang sebagai komoditi ekonomi yang menjadi objek bebas di pasar maka akan berlaku hukum pasar, yakni: siapa yang mempunyai daya beli lebih tinggi (uang banyak) maka mereka yang akan mampu membelinya. Cara berpikir tersebut akan menjurus pada penguasaan agraria pada tangan-tangan yang kuat secara ekonomi, yang akan menyingkirkan orang-orang yang tidak dapat berkompetisi dalam pasar karena kemampuan ekonominya yang rendah.

Namun  sebaliknya, jika agraria dipandang sebagai aset strategis negara maka negara tidak akan menjadikannya komoditi di pasar bebas, tetapi akan menguasainya dan dipergunakan sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat. Paradigma ini dianut UUD 1945, terutama pasal 33 yang sangat terkenal itu. Namun karena perubahan paradigma akibat pengaruh doktrin pasar bebas kapitalisme maka tafsir terhadap Pasal 33 UUD 1945 sudah diarahkan pada komodifikasi agraria, sehingga begitu bebasnya para penguasa ekonomi asing dan swasta mengelola aset-aset strategis negara seperti minyak dan gas bumi (migas), mengelola ratusan ribu hektar perkebunan, sumber daya air dan lain-lain.

Adanya jumlah petani Indonesia yang 85 persennya tidak mempunyai lahan, atau jika ada yang mempunyai lahan tapi lahan sempit (petani gurem), juga menandakan bahwa prioritas pembangunan negara ini sudah bukan lagi di bidang pertanian, tetapi terutama mengarah pada industrialisasi. Oleh sebab itu, tanah-tanah rakyat akan lebih banyak dibebaskan untuk kepentingan industri, perkebunan swasta, dan pertambangan. Kebijakan landreform mustahil dijalankan dalam prioritas pembangunan industri. Itulah sebabnya bahwa konflik agraria kerap terjadi karena kian banyak petani yang tidak mempunyai tanah dengan kian menciutnya lahan pertanian yang tergusur untuk kepentingan-kepentingan nonpertanian.

Dengan masih menggunakan paradigma ekonomi pasar bebas dan prioritas industrialisasi yang memanjakan investor dan menganaktirikan pertanian rakyat maka Pasal 33 UUD 1945 dan agenda reforma agraria hanya akan menjadi utopia, omong kosong besar dalam politik hukum Indonesia.

Reforma agraria akan dapat terlaksana apabila para penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia mau kembali ke jalan yang benar, kembali pada tafsir orisinil Pasal 33 UUD 1945 yang dirumuskan dengan semangat sosialisme Indonesia, menentang penghisapan dan kapitalisme kuno yang terbukti secara kasar telah menghancurkan Indonesia sejak zaman penjajahan kuno hingga imperialisme modern sekarang ini. Tantangan terbesarnya adalah menghadapi hegemoni kekuatan korporasi-korporasi besar dunia yang telah mampu mendikte pemerintahan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan sekutunya serta lembaga-lembaga ekonomi dunia semacam Bank Dunia, IMF, WTO, ADB dan korporasi-korporasi multinasional yang mempunyai agenda penguasaan terhadap seluruh sumber daya di muka bumi.

Hal tersebut bukan sekadar retorika ideologis, namun telah menjadi kenyataan sejarah yang harus dihadapi. Para petinggi intelektual Barat sendiri seperti David Korten, David Loy, Daniel C. Maguire, Susan George dan lain-lain, termasuk para penulis seperti Lewis Stanley, Brendan De Melle dan lain-lainnya, telah mengingatkan adanya fakta-fakta besar tirani modern yang disebut sebagai tirani korporasi yang mampu mendikte seluruh kekuatan negara baik militer, penegak hukum, serta para politisi di parlemen, didukung oleh kekuatan media-media massa yang besar dengan justifikasi ilmiah yang diberikan para ahli yang berada di bawah ketiak para penguasa modal besar di dunia.[16]

Tanpa kemauan politik yang kuat untuk melawan hegemoni kekuatan kapital besar dunia tersebut, tanpa kembali ke jalan yang benar sesuai amanat konstitusi dan tanpa prioritas pada pembangunan pertanian - termasuk peternakan dan perikanan -  kerakyatan, maka agenda reforma agraria hanyalah mimpi di setiap tidur rakyat negara ini. Penghisapan akan terus terjadi.

Sekarang tinggal dijawab pertanyaan ini: Apakah pemerintah dan parlemen (pusat dan daerah) bersedia melaksanakan kerja-kerja yang diagendakan dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dalam rangka menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945?



REKOMENDASI

1.     Pengorganisasian kaum muda progresif Indonesia dalam bentuk komite atau laskar-laskar pemuda dalam rangka kembali ke jalan yang benar sesuai tafsir orisinil Pasal 33 UUD 1945, memahami agraria bukan sebagai komoditi, tetapi sebagai aset strategis negara yang harus dikelola oleh negara dan rakyat Indonesia sendiri.

2.     Mendesak partai-partai politik untuk benar-benar berfungsi mewadahi aspirasi rakyat, bekerjasama dan “mengintervensi” serta mendorong dalam bentuk diskusi-diskusi dan debat publik yang dapat membuahkan rekomendasi serta konsensus-konsensus publik, serta pengawasan terhadap parlemen dan pemerintah dalam penyusunan regulasi kebijakan serta implementasinya yang menyangkut keagrariaan.

3.     Melakukan advokasi dalam sengketa-sengketa agraria dalam rangka memihak kepada rakyat lemah, nasionalisme dan sosialisme Indonesia.



Salam Perjuangan!






[1] Disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Eksekutif  Mahasiswa (BEM) Universitas Merdeka Surabaya Bekerjasama Dengan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) dengan tema  Quo Vadis Reforma Agraria: Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia, di Universitas Merdeka Surabaya, tanggal 14 Maret 2012.


[2] Advokat, Penasihat Bidang Hukum pada WALHI Jawa Timur, Ketua Dewan Pertimbangan pada LHKI Surabaya, Pengurus PERADI DPC Surabaya Bidang Pembelaan Profesi Advokat.


[3] Siaran Pers KPA atas Konflik dan Sengketa Agraria di Tanah Air, tanggal 25 Desember 2011.


[4] Idham Arsyad, Problem Agraria dan Kapitalisme, http://www.kpa.or.id/?p=661 (diakses tanggal 7 Maret 2012).


[5]M. Edy Bisri Mustofa, Mengurai Akar Konflik Agraria, http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/02/09/mengurai-akar-konflik-agraria/ (diakses tanggal 7 Maret 2012).


[6] ______Quo Vadis, http://id.wikipedia.org/wiki/Quo_vadis (diakses tanggal 7 Maret 2012).


[7] Soekarno, Djalanja Revolusi Kita (DJAREK): Amanat Presiden Republik Indonesia pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1960 dalam Oedijo, et al., Doktrin Revolusi Indonesia: Bahan-bahan Indoktrinasi Manipol, Narsih, Surabaya, 1962, hal. 312.


[8] Ibid.


[9]Poppy SW, 10 Tahun Pasca Orde Baru: Indonesia dalam Konteks Ekonomi Politik Global http://poppysw.staff.ugm.ac.id/posts/articles/10-tahun-pasca-orde-baru-indonesia-dalam-konteks-ekonomi-politik-global-/ (diakses tanggal 6 Maret 2012).



[10]Lihat juga artikel Freeport Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia (diakses tanggal 13 April 2011).


[11]Abigail Abrash, Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia, http://www.laohamutuk.org/Oil/LNG/Refs/002AbrashFreeport.pdf (diakses tanggal 13 April 2011).

[12] International Center for Transitional Justice dan HRWG, Kasus Keterlibatan? Exxon Mobil di Pengadilan karena Perannya dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh, http://www.ictj.org/images/content/1/1/1121.pdf, (diakses tanggal 13 April 2011).


[13] Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur.


[14] Erizal Jamal, et al, Reforma Agraria dan Masa Depan Pertanian, Jurnal Litbang Pertanian 21 (4), 2002, hal. 136.


[15] Dianto Bachriadi, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007, pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UniB), Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia.

[16] Lihat Daniel C. Maguire, Energi Suci (judul asli Sacred Energies, terjemahan Ali Noer Zaman), Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004; Sri Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme, Makalah untuk Lokakarya Pengembangan Program Studi S3 Ilmu Ekonomi Islam, dengan tema “Tantangan Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Sistem Ekonomi Neoliberal” Pasca Sarjana UNAIR, 8 Juni 2010; Brendan De Melle, When Corporations Rule The World (Thanks To Supreme Court), http://www.huffingtonpost.com/brendan-demelle/when-corporations-rule-th_b_433527.html (diakses 14 April 2011); dan Lewis Stanley, Americans Murdering Their Judges, and the US Crisis of Judicial Corruption, http://www.allvoices.com/contributed-news/1799037-americans-murdering-their-judges-and-the-us-crisis-of-judicial-corruption (diakses tanggal 13 April 2011).