Saturday, April 9, 2011

KONSEP GERAKAN PEMERINTAHAN, SOSIAL DAN HUKUM DALAM UPAYA PENYELAMATAN LINGKUNGAN INDONESIA


ABSTRAK
Lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia disebabkan oleh keberpihakan penegak hukum kepada kepentingan kapital dan kurang responsif terhadap problem keadilan sosial. Dibutuhkan penanaman paradigma dan penyusunan agenda upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup terkait masa depan generasi penerus Indonesia. Konsepnya adalah “eco-government, eco-society and eco-law action based on eco-law system (gerakan pemerintahan, sosial dan hukum berdasarkan sistem hukum lingkungan), di mana respon, kekuatan dan kesadaran masyarakat merupakan cara alternatif dalam penegakan hukum lingkungan.


PENDAHULUAN

1.            Latar Belakang Masalah

Sejarah kerusakan ekologi dunia dapat dibaca dari fenomena hujan asam pernah terjadi di Manchester, Inggris, kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852, Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara. Pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat meningkat di tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.[1]
Prof. David Orr dari Oberlin College menyampaikan bahwa  jumlah sperma para lelaki di dunia menurun 50 persen sejak tahun 1938, air susu perempuan sering mengandung lebih banyak racun dibandingkan yang diizinkan dalam susu yang dijual perusahaan susu. Toksin yang menular saat kehamilan mempengaruhi kekebalan bayi yang tak berdosa. Hampir 80 persen hutan Eropa rusak karena hujan asam.[2] Kita dapat menyebut fenomena itu sebagai akibat kekejaman terhadap ekologi, suatu perlakuan yang tidak adil kepada alam, karena mengotorinya dengan dalih kepentingan ekonomi.
Indonesia juga mempunyai problem ekologi yang cukup berat. Laju kerusakan hutan mencapai 1,1 juta hektar pertahun berdasarkan data pemerintah tahun 2009. Menteri Kehutanan menyatakan penyebabnya adalah banyak kawasan hutan yang telah beralih menjadi pertambangan dan perkebunan. Dampaknya juga pada percepatan pemanasan global (global warming).[3]
Dampak buruk global warming dan pertambangan sudah dirasakan. Tahun 2007 Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Syamsul Maarif, mengatakan bahwa kenaikan air laut di Indonesia mencapai sekitar 0,5 sentimeter per tahun atau 10 sentimeter dalam 20 tahun. Prof. Syamsul menunjukkan data, Indonesia semula memiliki 17.504 pulau, kini tinggal 17.480 pulau, karena tenggelam akibat naiknya air laut dan penambangan yang menyebabkan permukaan pulau makin rendah. Prof. Syamsul tidak bicara peran pemerintah, tapi dia berharap peran masyarakat dengan pernyataan, "Karena itu, seluruh penghuni pulau kecil harus sadar bagaimana mengelola pulaunya."[4] 
Berbagai aktivitas yang melanggar kaidah hukum lingkungan selama ini tidak memperoleh penyelesaian yang baik. Tragedi semburan lumpur Lapindo merupakan sebuah contoh pelanggaran hukum administrasi negara dengan cara pemberian izin yang melanggar hukum tata ruang dan jarak pengeboran dengan sarana umum serta pemukiman penduduk. Terjadi pelanggaran aspek-aspek teknik dalam pelaksanaan pengeboran sehingga mengakibatkan kecelakaan yang berujung pada semburan lumpur panas yang menghancurkan belasan desa/kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon di Sidoarjo Jawa Timur.[5]
Perkara pidana kasus lumpur Lapindo dihentikan Kepolisian RI. Gugatan YLBHI dan WALHI juga gagal. Putusan pengadilan menyatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan gempa Yogyakarta, berdasarkan pendapat empat ahli yang diajukan pihak Lapindo Brantas Inc. Kasus ini juga menimbulkan tanda tanya besar, termasuk dalam perspektif hukum acaranya sebab menggunakan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata adalah melanggar standard pembuktian menurut pasal 1886 KUHPerdata dan pasal 164 HIR. Hakim malah mengabaikan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggal 29 Mei 2007 dalam kasus Lapindo yang mestinya merupakan alat bukti akta otentik.[6]
Sedangkan dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, hakim Pengadilan Negeri Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mnd juga membebaskan para terdakwa dari Newmont Minahasa Raya. Hakim berpendapat bahwa bahwa asas subsidiaritas harus diterapkan. Hakim juga menyatakan tidak terbukti bahwa Teluk Buyat tercemar, berdasarkan alat bukti hasil riset CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization), WHO (World Health Organization) dan National Institute for Minamata Disease (NIMD) yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004.[7]
Namun, The New York Times membeberkan informasi bersumber dari Mr. Moran seorang ahli di Amerika Serikat, bahwa studi CSIRO yang dibiayai Newmont telah menemukan kandungan konsentrasi merkuri dalam sedimen dekat dua area pembuangan limbah sebesar 446 dan 678 parts per million. Sedangkan survei WHO, menurut Dr. Jan Speets seorang penasihat teknis WHO, merupakan studi yang sangat dangkal dan tidak menggunakan cara yang ilmiah untuk menentukan penyebab penyakit-penyakit di desa Buyat Pante atau apakah teluk Buyat tercemar. Ia berkata bahwa studi yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan.[8]
Hal senada disampaikan oleh Mineral Policy Institute, Australia yang menyatakan bahwa temuan-temuan CSIRO sesungguhnya menunjukkan bahwa sedimen di dasar Teluk Buyat telah terkontaminasi oleh limbah tambang (tailing) dengan kandungan arsen yang mencapai 10 sampai 20 kali lipat lebih tinggi dari acuan sedimen dasar laut Australia/Selandia Baru serta acuan ambang batas yang mungkin menimbulkan dampak beracun (Probable toxic Effects Level) yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan Kanada.[9]
Karena adanya kontroversi hasil-hasil riset tersebut, pemerintah Indonesia membentuk Tim Terpadu. Hasil penelitian Tim Teknis (yang menjadi bagian Tim Terpadu tersebut) menyimpulkan ada pelanggaran hukum perizinan yang dilakukan Newmont terkait ketiadaan izin pembuangan limbah tailing yang merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan menyimpulkan pencemaran Teluk Buyat disebabkan perbuatan Newmont.[10] Berdasarkan hasil kerja penelitian Tim tersebut maka tanggal 24 Nopember 2004 Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Lingkungan Hidup  secara resmi mengumumkan bahwa Teluk Buyat telah tercemar.[11]
Kita dapat melihat betapa ambigunya watak pemerintahan Indonesia. Di sisi lain mereka menunjukkan keprihatinan terhadap problem ekologi yang kian berat, tapi di tempat lain mereka leluasa memberikan izin-izin eksploitasi dengan cara-cara melanggar kaidah administrasi negara, membuka akses terjadinya kejahatan ekologi.
Kementerian Lingkungan Hidup juga merasa prihatin, dalam siaran persnya tanggal 16 Desember 2010 yang  menyatakan:
Selama penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997 hingga saat ini, masih banyak pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d 2010 yang sampai disidangkan di pengadilan,  hakim memutuskan 5 kasus vonis penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan.[12]

Lemahnya upaya preventif (dari aspek administrasi negara) dan buruknya penanganan kasus-kasus lingkungan hidup tersebut memberikan gambaran bahwa pemerintahan Indonesia, terutama kekuasaan eksekutif dan yudisiilnya (yudikatif) masih belum responsif terhadap kondisi ekologis dan tidak berpikir secara futuristik. Tentu ini sebuah fenomena pemerintahan yang ketinggalan zaman.
Efektivitas hukum lingkungan masih belum dapat diandalkan. Masa depan nasib lingkungan hidup Indonesia kian terancam. Nasib generasi masa depan dipertaruhkan. Ketika sumber daya alam kelak kian habis dan langka, diikuti dengan persoalan lingkungan yang mengikutinya, negara ini akan mengalami kemunduran dan generasi Indonesia di masa depan akan menjadi korban.

2.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah sesungguhnya sistem hukum lingkungan hidup Indonesia?
b.      Bagaimanakah paradigma dan agenda implementasi sistem hukum lingkungan hidup untuk menyelamatkan Indonesia di masa depan?

SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

1.         Sistem Hukum Indonesia

Sebelum membicarakan sistem hukum lingkungan Indonesia, kita harus memahami dulu sistem hukum Indonesia, sebab sistem hukum lingkungan merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia secara utuh. Hukum lingkungan merupakan salah satu bidang hukum yang khusus, tetapi hukum lingkungan bukan merupakan kamar hukum yang eksklusif dan tertutup dengan tembok dari bidang-bidang hukum lainnya, apalagi dari induknya yang bernama Hukum Indonesia.  
Hans Kelsen menyatakan bahwa tatanan hukum terdiri dari sistem norma umum dan individul yang terkait sedemikian rupa sehingga penciptaan dari setiap norma sistem ini ditentukan oleh yang lain dan pada akhirnya ditentukan oleh norma dasar. Kelsen juga menyatakan bahwa tidak tepat jika kita membedakan antara tindakan penciptaan hukum dengan penerapan hukum.[13] Dengan demikian, dalam suatu sistem hukum harus ada kesatuan prinsip yang tak boleh bertentangan satu sama lain, yang didasarkan pada norma dasarnya. Sedangkan penerapan hukum juga dianggap sebagai kegiatan penciptaan hukum karena akan menghasilkan norma individual (putusan yang mengikat pihak-pihak yang diadili).
Bellefroid mendefinisikan sistem hukum sebagai suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.[14]
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa dalam pembahasan hukum dan sistem hukum senantiasa mengandung tiga komponen, yakni struktur, substansi dan kultur hukum. Komponen “struktur” terdiri dari keseluruhan institusi hukum dan aparatur penegaknya. “Substansi” merupakan keseluruhan aturan hukum, asas-asas hukum baik tertulis maupun tak tertulis termasuk putusan pengadilan. Sedangkan “kultur hukum” berwujud opini-opini, kepercayaan-kepercayaan kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak dari para penegak hukum dan warga masyarakat.[15]
Sebelum kita masuk pembahasan sistem hukum Indonesia, ada baiknya dilakukan perbandingan secara umum tentang sistem hukum di dunia. Sistem hukum Indonesia sering dikaitkan dengan sistem hukum Belanda karena pengaruh hukum Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Sedangkan sistem hukum Belanda merupakan sistem civil law yang terkenal dengan corak positivistik. Sistem hukum ini dianut negara-negara Eropa Kontinental.
Namun, ahli hukum Belanda bernama Paul Scholten sejak lama mengenalkan konsep sistem hukum yang terbuka (openbaar system van het rechts). Scholten mengatakan, barangsiapa yang berusaha memperoleh pengetahuan tentang tata hukum dari tempat lain, tidak akan pernah cukup hanya dengan mempelajari undang-undang, tapi juga harus mengetahui tentang putusan pengadilan, hakim yang menerapkan hukum, pada saat yang sama dengan itu membentuk hukum baru.[16]
Konsep tersebut menjadi kenyataan ketika tanggal 31 Desember 1919 Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda membuat tafsir baru dalam putusannya tentang pengertian yuridis perbuatan melawan hukum dengan pengertian luas. Hukum tidak lagi dipandang sebatas undang-undang, tapi juga termasuk hukum tidak tertulis.
Di belahan bumi lain juga ada sistem hukum common law yang berkembang di Inggris abad ke-11 yang juga dikenal dengan unwritten law, merupakan hukum kebiasaan dan adat setempat. Undang-undang yang dibuat hanya mengatur pokok-pokoknya saja. Dalam sistem common law ini hakim pengadilan menggunakan prinsip “membuat hukum sendiri” (case law atau judge made law). Sistem hukum ini diikuti oleh negara-negara bekas jajahan, dominion, termasuk berpengaruh di Kanada dan Amerika Serikat.[17]
Prof. Achmad Ali menyatakan bahwa para ahli perbandingan hukum melihat sistem hukum Indonesia ini masuk kategori mixed law (sistem hukum campuran) karena memberlakukan sistem hukum perundang-undangan, hukum Islam, dan Hukum Adat.[18]
Tetapi dengan melihat perkembangan yang ada, tampaknya hampir tak ada negara di dunia ini yang sistem hukumnya tak tercampur, akibat dari pergaulan hukum global, munculnya tatanan hukum Internasional yang mempengaruhi sistem hukum masing-masing negara. Keadaan baru tersebut direspon oleh teori hukum baru bernama triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of London. Teori ini menyajikan suatu pemikiran kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum di dunia globalisasi ini, dengan menyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini. Menski memandang bahwa teori-teori Barat terlalu sempit dan eurosentris. Ia mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, positivisme dan sosiologi hukum, guna membahas pluralisme hukum yang merupakan realitas global.[19]
Saya lebih condong kepada pendapat bahwa sistem hukum Indonesia disebut sebagai sistem hukum Pancasila. Sistem hukum Pancasila ini dapat saja menerima sistem hukum dari manapun asalkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang hendak mewujudkan negara Indonesia yang berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berdemokrasi Pancasila dan berkeadilan sosial. Dengan demikian sistem hukum Indonesia dapat menerima asas-asas hukum asing yang sesuai dengan Pancasila dan menolak prinsip-prinsip yang bertentangan dengan Pancasila, atau menggunakannya dengan cara penyesuaian dalam penerapannya.
Jika kita melihat substansi dalam sistem hukum Indonesia, hukum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah pembuatan dan pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The Professional’s Law).[20]
Untuk menyingkat uraian, saya akan langsung menuju pada sistem hukum kekuasaan kehakiman yang akan menjadi acuan bagaimana hukum praktik (The Professional’s Law) itu diterapkan, sebab norma hukum umum itu akan terwujud dalam norma indidual dalam bentuk putusan-putusan hakim, jika terdapat perkara yang harus diselesaikan melalui pengadilan.
Di zaman Orde Lama dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan  Kehakiman dan Kejaksaan dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, menentukan bahwa para hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.   
Zaman Orde Baru, diterbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang juga memuat sistem hukum yang sama, bahwa para hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan termasuk dengan jalan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (pasal pasal 27 ayat 1). Di era reformasi, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tetap menganut sistem hukum peradilan yang mewajibkan para hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat 1).
Tahun 2009 undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menganut sistem yang sama, yakni mewajibkan para hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 5 ayat 1). Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia bersifat terbuka, responsif, memberi kewenangan hakim melakukan penemuan hukum, lebih berorientasi pada keadilan sosial. Prinsip inilah yang harus dipahami oleh para penegak hukum dalam menerapkan hukum Indonesia.
Tetapi salah satu problem dalam memahami paradigma ini adalah masih adanya fakultas hukum yang berparadigma positivisme sehingga melahirkan para sarjana hukum yang kurang mampu dalam merespon perubahan kebudayaan masyarakat dan pola-pola baru perilaku manusia modern.

2.         Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia

Sistem hukum lingkungan merupakan bagian dan satu kesatuan dalam sistem hukum Indonesia, sehingga sistem hukum lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kerangka besar sistem hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Dengan memahami uraian tentang sistem hukum Indonesia di depan, kita sudah dapat mengidentifikasi bahwa substansi hukum Indonesia berupa peraturan perundang-undangan yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.
Pada masa pemerintahan reformasi, pedoman konstitutif sistem hukum lingkungan ditentukan dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menentukan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Serta pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Indonesia baru mempunyai undang-undang pokok tentang lingkungan setelah adanya Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang sering dianggap sebagai tonggak pertama hukum lingkungan global. Tahun 1982 barulah diundangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 4 Tahun 1982). Undang-undang ini sudah bicara tentang konsep pembangunan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan mutu hidup sebagaimana disebut di pasal 1 angka 18. Undang-undang tersebut juga menentukan tujuan terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup (Pasal 4). Dalam Penjelasan Umum-nya eksplisit dijelaskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan hukum lingkungan. Sistem pengelolaan lingkungan hidup yang ditetapkan adalah sistem terpadu antarlembaga pemerintah pusat dan dengan pemerintah daerah.
UU No. 4 Tahun 1982 tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997) yang mengenalkan sistem hukum lingkungan yang penyelenggaraan pengelolaannya dengan wawasan Nusantara (Penjalasan Umum angka 2 UU No. 23 Tahun 1997), bahwa lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun administrasi, namun harus jelas batas wewenang pengelolaannya, yakni lingkungan hidup Indonesia.
UU No. 23 Tahun 1997 juga merumuskan konsep penyelesaian sengketa alternatif (luar pengadilan), adanya lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan, gugatan perwakilan kelompok (class action), dan mengakui kedudukan hukum organisasi bidang lingkungan hidup untuk melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
Dalam UU No. 23 Tahun 1997 ini dikenal asas yang bernama asas subsidiaritas (Penjelasan Umum angka 7) yang menjelaskan bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian lingkungan hidup tidak efektif dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.
Asas subsidiaritas dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut tampaknya bukanlah asas yang imperatif, melainkan sebuah asas “yang disarankan” dengan memahami istilah “hendaknya didayagunakan”, sehingga tidak wajib diterapkan.
UU No. 23 Tahun 1997 kemudian digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009) yang mewajibkan penggunaan asas subsidiaritas. Undang-undang ini juga mengubah sistem izin lingkungan sebagai syarat wajib dan utama dalam setiap kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup (pasal 36 sampai dengan 40). Orientasi UU No. 32 Tahun 2009 adalah jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang ditentukan pasal 28 H UUD 1945 (lihat konsideran huruf a dan f UU No. 32 Tahun 2009).
Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2009 menentukan bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Di sini tampak bahwa sistem hukum nasional diarahkan dan diwajibkan berorientasi pada lingkungan hidup (green law atau eco-law system). Prinsip-prinsip dan norma hukum lingkungan harus menjiwai substansi hukum bidang lainnya dan harus menjadi panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Bahkan penyusunan anggaran negara (pusat dan daerah) juga berbasis lingkungan hidup (pasal 45 dan 46).
UU No. 32 Tahun 2009 juga menentukan adanya garansi lingkungan hidup dengan mewajibkan kepada setiap pemegang izin lingkungan untuk menyediakan dana penjaminan pemulihan lingkungan hidup yang disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam undang-undang ini memuat sistem internalisasi biaya lingkungan hidup ke dalam kegiatan usaha ekonomi yang menjadi bagian dari instrumen perencanaan pembangunan selain neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup, penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup dan mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah (pasal 43).
Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bidang pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi urusan wajib pemerintah daerah di wilayah masing-masing pemerintah daerah. UU No. 32 Tahun 2009 pun menentukan adanya adanya kewenangan pemerintah daerah tersebut yang dikoordinasi oleh Menteri Lingkungan Hidup (pasal 63 dan pasal 64) sebagai konsekuensi sistem negara kesatuan.
UU No. 32 Tahun 2009 mengakui hukum adat dengan menganut asas kearifan lokal sebagaimana ditentukan dalam pasal 2. Asas ini menentukan prinsip bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Asas ini juga erat kaitannya dengan “asas ekoregion”, yaitu bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
Ketentuan tersebut selaras dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dalam pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Prinsip dasar pengakuan kearifan lokal ditentukan pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yang menentukan,Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat asli Indonesia sudah mempunyai sistem kearifan lokal berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Kelestarian lingkungan merupakan salah satu inti kearifan lokal hukum adat. Namun hingga tahun 2006, berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), baru ada tiga masyarakat hukum adat yang dilindungi, yaitu Badui, Kampung Naga, dan Tengger yang semuanya berada di pulau Jawa. Padahal, ada 6300 masyarakat hukum adat di Aceh, 700 di Sumatera, dan 1000 di Bali.[21]
Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia sesungguhnya dapat menjawab realitas globalisasi. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 termuat asas-asas atau prinsip hukum global, nasional dan kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan teori hukum baru bernama triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski tersebut.  Hanya saja, asas subsidiaritas yang diwajibkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 perlu dieliminasi, meski asas ini diterapkan secara terbatas, yakni pada tindak pidana lingkungan hidup formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan (Penjelasan Umum angka 6).
Asas subsidiaritas ini juga diberlakukan secara imperatif dalam penyelesaian sengketa perdatanya. Pasal 84 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 menentukan bahwa upaya hukum melalui pengadilan hanya dapat dijalankan jika upaya-upaya hukum luar pengadilan tidak memperoleh penyelesaian.
Saya berpendapat, sebelum adanya perubahan UU No. 32 Tahun 2009 guna menghilangkan asas subsidiaritas, para penegak hukum boleh menerobos atau tidak melaksanakan asas tersebut berdasarkan alasan-alasan ideologis yang saya kemukakan berikut ini.
Pertama, asas subsidiaritas dalam hukum lingkungan bertolak belakang dengan orientasi perlindungan HAM dalam hukum lingkungan yang dianut UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009. Penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium menjadi penting diterapkan, terutama dengan cara pengenaan denda yang maksimum bagi korporasi yang melakukan kejahatan ekologi guna memaksa dan menumbuhkan kesadaran bahwa tindak pidana lingkungan merupakan pelanggaran HAM.
Saya sepakat dengan gagasan Polly Higgins agar kejahatan terhadap lingkungan masuk sebagai kehajatan kemanusiaan yang dapat diadili di International Criminal Court (ICC).[22] Terutama apabila daya rusaknya besar atau berpotensi merusak kesehatan masyarakat luas baik secara langsung atau di masa depan, jika upaya hukum di tingkat nasional menemui jalan buntu. Akibat-akibat pembuangan limbah beracun dan emisi tak terkendali akan timbul di masa depan, bukan secara langsung, dan mengancam siapapun. Para pelaku kejahatan ekologi juga bisa berbentuk korporasi multinasional.
Kedua, kepentingan hukum dalam bidang lingkungan hidup meskipun juga terdapat unsur keperdataan tapi bersifat publik, karena menyangkut kepentingan bersama atas sumber daya alam. Filsuf Barat sendiri semacam John Locke mempercayai bahwa alam semula merupakan milik semua orang, bukan tak ada yang memiliki, karena Tuhan telah memberikannya kepada manusia sebagai milik bersama.[23] Apalagi dalam sistem hukum Indonesia sudah jelas pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa sumber daya alam itu merupakan hak kolektif publik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, persoalan lingkungan hidup sama pentingnya dengan agenda pemberantasan korupsi, terorisme, dan perdagangan narkotika, yang tidak menggunakan asas subsidiaritas.
Ketiga, penerapan asas subsidiaritas melanggar asas equality before the law karena memberikan prioritas dan kelonggaran atau keistimewaan hukum bagi pelaku usaha yang melakukan kejahatan ekologi. Padahal kejahatan ekologi justru lebih berbahaya dan akibatnya lebih luas, menjangkau masa depan meskipun hanya persoalan pelanggaran baku mutu lingkungan. Akumulasi pelanggaran baku mutu lingkungan dalam area yang luas, secara terus-menerus, sama halnya dengan menabung racun yang akan mengorbankan generasi masa depan.
Asas subsidiaritas berasal dari hukum Barat yang bercorak liberal dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kaum borjuis, dengan cara meminimalisasi peran negara dan menyerahkan urusan kepada pihak-pihak yang berkepentingan lebih dulu. Prinsip seperti ini hanya cocok untuk hubungan-hubungan hukum privat yang bersifat individual. Padahal hukum lingkungan mengatur hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang harus diakui sebagai hak asasi manusia secara kolektif, bukan individualistis.[24]  
Dalam melihat tujuan asas subsidiaritas ini penting untuk melihat tumbuhnya sejarah negara hukum di Barat, di mana negara hukum modern dikaitkan dengan dinamika perkembangan ekonomi, didorong oleh sistem produksi ekonomi waktu itu, yaitu munculnya industrialisasi, kapitalisme dan golongan borjuis. Prof. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum progresif tidak bersikap a priori  terhadap hukum liberal, tapi banyak juga yang tidak diinginkan.[25]
Untuk mengatasi cara penerapan asas subsidiaritas tersebut, sistem hukum nasional memberi kewenangan kepada para hakim untuk membuat konstruksi hukum guna menerobos asas subsidiaritas jika dianggap penting, dengan tujuan untuk memberikan hak keadilan kepada masyarakat. Sebab bagaimanapun juga UU No. 32 Tahun 2009 adalah norma hukum yang dalam penerapannya harus sesuai dengan norma dasarnya yakni Pancasila dan UUD 1945.
Sistem hukum lingkungan tersebut telah memandu sistem hukum nasional menjadi sebuah green law system atau eco-law system, yakni sistem hukum yang berbasis lingkungan. Sistem hukum demikian itu sebagai konsekuensi dari perubahan UUD 1945 yang oleh Prof. Jimly Asshiddiqie disebut sebagai Green Constitution. Prof. Jimly menunjukkan letak konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi Indonesia yakni pada pasal 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut.[26] 

AGENDA PENYELAMATAN LINGKUNGAN

1.         Paradigma

Dalam melaksanakan pembangunan yang diharapkan berkelanjutan ini tak dapat dipungkiri masih dominannya paradigma “ramah investasi” dengan jalan melunakkan implementasi hukum lingkungan, bahkan sampai pada level pelanggaran hukum. Pemberian izin wilayah konsesi kepada Newmont di Sulawesi Utara seluas 527.448 hektar, ternyata yang seluas 124.700 hektar merupakan wilayah cagar alam.[27]  
Begitu pula pelanggaran hukum tata ruang dalam pemberian izin lokasi kepada Lapindo Brantas Inc, serta liberalisasi perizinan penebangan hutan untuk korporasi sebagaimana diuraikan di bagian pendahuluan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa dalam implementasinya pertimbangan ekonomi lebih ditonjolkan daripada hukum. Hukum yang ditujukan untuk memproteksi masyarakat dari bahaya diterjang oleh keputusan administrasi perizinan demi memenuhi syahwat ekonomi.
Paradigma ilmu ekonomi yang digunakan adalah paradigma ilmu ekonomi kapitalisme kuno, yang mengejar manfaat dan keuntungan ekonomi, tetapi tak pernah mau memperhitungkan komponen biaya degradasi manfaat dan fungsi ekologi (cost of ecology). Seperti halnya korporasi-korporasi besar di Eropa yang menentang keras pemberlakuan pajak penggunaan energi fosil tersebut, dengan dalih efisiensi dan daya saing harga di pasar global. Akhirnya ilmu ekonomi menjadi pelayan pasar bebas yang menganggap persyaratan ekologis sebagai penghalang.
David Korten, seorang yang pernah mengajar sekolah bisnis di Harvard yang bertahun-tahun bekerja di Perwakilan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional melihat ada sisi buruk ilmu ekonomi. Dalam buku Prof. Daniel C Maguire ada sebuah kritik pedas, dikatakan bahwa ilmu ekonomi itu menjijikkan, hanya dapat dipahami oleh Bank Dunia, IMF dan WTO – tapi siapa yang dapat memahami lembaga-lembaga itu.[28]
Ilmu ekonomi sebenarnya juga mengenal kesadaran adanya keterbatasan sumber daya yang konon memaksa orang untuk tunduk pada The Law of Scarcity (Hukum Kelangkaan) yang berbunyi, “Untuk mendapatkan barang yang langka maka orang harus mengorbankan sesuatu lebih dulu.”[29]
Itulah seharusnya yang dapat menjadi pangkal pikir ekologis dalam ilmu ekonomi, bahwa manusia wajib menghemat sumber daya alam. Kerakusan dan pemborosan pemanfaatan sumber daya alam terbukti menimbulkan bencana. Cara pikir ekologi merupakan mata rantai yang tak terputus, ada hubungan sebab-akibat dalam rangkaian panjang, secara langsung dan tak langsung. Itulah bahwa ekologi tak lepas dari kosmologi. Jalan pikiran kita dalam memahami beberapa prinsip ilmu ekonomi sudah dipandu oleh prinsip pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni kebersamaan (kolektivitas), efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian dan menjaga kesimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi bukan melakukan perkawinan dengan ekologi, tapi ekonomi memang  bagian dan hidup dalam ruang ekologi. Manusia sebagai aktor ekonomi lahir berbahan alam, lalu hidup di alam, bergantung alam dan mati disemayamkan di alam. Ekonomi tak akan dapat hidup di luar semesta. Alam semesta ini adalah lingkungan. Barangsiapa yang memisahkan ekonomi-ekologi maka itu pelanggaran hukum kodrat, sama halnya melakukan pembunuhan ilmiah yang berakibat pada kematian keadilan dan kemanusiaan. Bangsa Indonesia menyebut tanah airnya sebagai Ibu Pertiwi. Siapa yang merusaknya berarti durhaka. Ini realitas yang harus dipahami.
Jika paradigma itu terlepas dari pikiran kita, pencemaran dan kerusakan lingkungan bukan hanya melanda bumi, tapi kelak juga menimpa tata surya. Kelak di bulan dan planet-planet akan ada konsesi tambang yang diperebutkan keserakahan manusia. Dengan ilmu ekonomi yang beraliran positivistik, mengasingkan diri dari persoalan kemanusiaan, menganggap preservasi sumber daya alam sebagai inefisiensi, maka ilmu ekonomi terapan akan terus mengobarkan penjajahan dan penghancuran dengan merampok slogan kebaikan yang bernama “pembangunan.” 
Salah satu tesis tentang paradigma pembangunan yang dikemukakan dan dikritik Johan Galtung, mendefinisikan pembangunan sebagai kegiatan pemuasan progresif kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non-manusia yang dimulai dari mereka yang paling membutuhkan. Dengan pemikiran seperti itu maka masalah kerusakan lingkungan hidup menjadi masalah utama.[30]
Murray Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas. Paradigma yang diajukannya adalah ekologi sosial yang memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tak dapat dibeda-bedakan. Ekologi sosial menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya kaum tertindas membutuhkan kemerdekaan.[31]
Eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh korporasi-korporasi swasta hanya memberikan keuntungan sekitar tak lebih dari 10 persen dibandingkan yang diperoleh perusahaan-perusahaan asing. Di semua tempat kehadiran Industri tambang dan migas justru menciptakan enclave ekonomi, ada jurang begitu lebar antara perusahaan tambang dengan masyarakat di sekelilingnya yang hanya menjadi penonton. Di kantong-kantong wilayah eksploitasi sumber daya alam maka di situlah kantong-kantong kemiskinan ditemukan.[32]  
Prof. Maguire, setelah membaca uraian David Loy, David Korten dan para ahli lainnya, serta mengamati data, lalu memberikan gambaran kondisi global dengan menyatakan: “Kapitalisme merampas kerja, meracuni orang, memiskinkan orang, mengalihkan kekayaan dari bawah ke atas – menimbulkan perang redistribusi – dan mendorong terorisme karena tidak setiap orang mau bermain dengan aturan dari pembuat transaksi yang kaya.”[33]
Lingkungan hidup sering dimengerti sebagai sumber milik bersama (common properties resources) yang seharusnya dimanfaatkan dan dikelola bersama demi kepentingan bersama. Tapi selama ini disalahartikan sebagai milik bersama atau tanpa kepemilikan sehingga siapa yang dapat memanfaatkan lebih dulu akan mendapatkan manfaat sebesar-besarnya tanpa pengendalian keberlanjutan sumber tersebut untuk kepentingan orang lain. Kejadian itu oleh Hardin, seorang ahli ekonomi lingkungan dianggap sebagai tragedy of commons dengan memberi contoh eksploitasi tanpa pengendalian ikan teri Peru (Peruvian Anchovi) sehingga punah dan menurunkan pendapatan masyarakat.[34]
Paradigma tidak sehat seperti itu sebenarnya telah diubah menjadi baik dalam Deklarasi Stockholm 1972 dengan slogan Only One Earth dan Konferensi Nairobi 1982 yang mengenalkan analisis pembangunan berkelanjutan dalam Dokumen Our Future, lalu berlanjut pada Konferensi Bumi Rio De Janeiro 1992 yang mendeklarasikan suatu tesis bahwa jika lingkungan hidup disalahgunakan dan sumber daya dikonsumsi secara berlebihan maka rakyat akan menderita dan perekonomian pun morat-marit. Penyusunan agenda yang mulia itu berikutnya juga dilakukan pada Konferensi Rio + 5 di New York tahun 1997 dan Konferensi Rio + 10 tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan.[35]   
UU No. 32 tahun 2009 juga menganut paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut, mewajibkan penyelenggaraan pembangunan berbasis lingkungan hidup. Undang-undang ini juga telah memuat prinsip internalisasi biaya lingkungan hidup (cost of ecology) ke dalam komponen biaya kegiatan usaha, mewajibkan adanya dana garansi ekologis, bahkan mewajibkan penyusunan anggaran negara berbasis lingkungan hidup.
Sistem hukum lingkungan demikian itu telah menggeser paradigma pembangunan ekonomi, dari semula bersifat ekonomi murni menjadi ekonomi berbasis lingkungan, berorientasi pada HAM, yang mengedepankan prinsip keadilan sosial.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah menyadarkan kepada kita bahwa seluruh kehidupan dan ilmu pengetahuan berada dalam kurva pelindung yang disebut sebagai lingkungan. Jika lingkungan rusak maka manusia juga akan rusak. Akan menjadi tidak adil jika generasi mendatang menjadi korban perbuatan generasi sekarang yang destruktif. Karena itu, manusia masa kini bertanggung jawab terhadap nasib generasi mendatang. Ini dapat kita jadikan asas ekologi yang universal.
Sudah waktunya prinsip ekonomi kapitalisme dengan formula “mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya” diganti menjadi “mencari keuntungan dengan efesiensi yang tidak bertentangan dengan keadilan sosial yang mencakup keselamatan alam.” Doktrin efisiensi yang digunakan dalam ruang privat-individual (korporasi) harus dipindahkan ke ruang publik (negara). Kita mengonstruksi ilmu ekonomi menjadi ilmu yang bernurani dan mempunyai spirit penyelamatan alam di masa kini dan masa depan, sebagai pertanggungjawaban atas amanat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Penggunaan sumber daya alam tidak boleh semena-mena, sebab kehidupan manusia akan dilanjutkan oleh generasi manusia di masa depan. Jangan sampai anak cucu kita mewarisi bencana dan akumulasi racun di mana-mana yang membuat mereka menderita dan mencatat sejarah bahwa kita adalah para orang tua yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia telah mempunyai panduan berupa Pancasila dan UUD 1945 serta UU No. 32 Tahun 2009 yang sudah begitu ideal, meski mungkin akan dapat ditemukan beberapa kelemahannya. Bagaimanapun sempurnanya bangunan sistem hukum nasional, jika tidak dibarengi dengan paradigma yang sejalan dengan konsep dan prinsip yang dianut dalam sistem hukum tersebut, maka kesempurnaan sistem hukum itu akan sia-sia. Paradigma baik itu yang akan menggerakkan kebaikan dan semangat para penegak hukum dan aparatur negara, serta membuahkan kesadaran masyarakat di stratifikasi sosial level manapun.  
Sekolah dan kampus mempunyai peran vital untuk membangun paradigma itu, agar melahirkan produk intelektual yang bernurani, berparadigma dan berwawasan ekologis. Buruknya kultur dan moral dalam dunia pendidikan akan melahirkan para intelektual yang tidak bermoral. Oleh karena itu, kini saatnya perguruan tinggi menyusun atau memperbaharui kode etik akademik dan membentuk suatu Badan Eksaminasi Akademik guna menguji validitas keterangan dan analisis ilmiah para tenaga ahli kependidikan untuk kepentingan para pelaku usaha, dan membatasi sejauh mana toleransi peran para ahli perguruan tinggi untuk secara subyektif bertindak memberikan jasa ilmiah kepada para pelaku usaha.
Kita membutuhkan para penyelenggara negara dan para ahli yang bernurani dan berkarakter sosial, mempunyai cakrawala luas dalam memikirkan generasi mendatang. Dengan pendidikan kita akan menyingkirkan dan memotong jalan pemikiran pintas yang individualistik yang cenderung mengkhianati sesama dan negara dengan “memperdagangkan” keahlian dalam cara-cara yang tidak bermoral, membungkus kejahatan intelektual dengan pemalsuan ilmiah.

2.            Gerakan Penyelamatan Lingkungan

Dengan memahami sistem hukum lingkungan nasional dan paradigmanya, agar sistem hukum lingkungan Indonesia efektif dan dapat melindungi dan menyelamatkan lingkungan demi pembangunan berkelanjutan, maka harus ditempuh cara-cara perlindungan, pengelolaan dan pemulihan lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan sistem hukum lingkungan nasional, yang meliputi sekurang-kurangnya:
a.          Penataan pemerintahan berbasis lingkungan hidup;
b.         Penggalangan partisipasi dan penguatan masyarakat;
c.          Penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam;
d.         Penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum; dan
e.          Penggalangan dan pendayagunaan dana ekologi yang ditampung dalam Bank Ekologi (Eco-Bank).
Kelima langkah tersebut saya namakan sebagai “gerakan pemerintahan, sosial dan hukum ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan (eco-government, eco-society and eco-law action based on eco-law system).
Penataan pemerintahan berbasis lingkungan terutama adalah koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah dan antar pemerintah daerah dalam merumuskan dan memahami kewenangan masing-masing. Dengan sistem koordinasi pelaksanaan kewenangan bidang lingkungan hidup oleh Menteri yang membidangi lingkungan hidup sebagaimana ditentukan UU No. 32 Tahun 2009 maka setiap penyusunan kebijakan bidang lingkungan hidup yang terkait haruslah dilakukan konsultasi lingkungan hidup, agar tidak menciptakan kebijakan yang tumpang-tindih dan saling bertentangan satu sama lain.
Pemerintahan yang berbasis lingkungan hidup akan membentuk unit-unit pelayanan ekologis, melakukan fungsi-fungsi administratif yang cermat untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta membuat kebijakan-kebijakan preventif, misalnya melakukan uji emisi berkala, menetapkan wilayah pengelolaan limbah terpadu, menyusun area pemukiman bebas polusi dan banjir, membatasi usia kendaraan bermotor dan lain-lain. Mekanismenya dimulai dengan penetapan regulasi-regulasi dan keputusan-keputusan daerah yang sesuai dengan sistem hukum lingkungan. Seluruh kebijakan yang diambil melibatkan partisipasi masyarakat.
Penggalangan partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan ekoregion sesuai dengan karakteristik ekologis masing-masing wilayah, memperhatikan kearifan lokal, menjadikan kekuatan masyarakat lokal sebagai pemelihara dan penjaga fungsi serta daya dukung lingkungan hidup dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Lembaga-lembaga kemasyaratan ini sekaligus berfungsi untuk membina dan menjadi mitra perekonomian masyarakat agar ketergantungannya terhadap sumber daya alam sekitarnya tidak bersifat destruktif. Kemapanan ekonomi sosial yang mandiri, menuju ke arah perekonomian nasional mandiri, tidak akan membutuhkan investasi dari luar yang cenderung egois dan bersifat merusak ekologi. Ini amanat pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Program ini dijalankan konsisten melalui sistem pembinaan di tempat. Ada para tenaga ahli dan teknis yang mendampingi masyarakat, bekerjasama dengan organisasi-organisasi nonpemerintah dan perguruan tinggi.
Negara ini harus mempunyai konsep yang tegas, berfokus pada spesifikasi penguatan kemampuan tertentu. Spesifikasi ekonomi pertanian, peternakan, kerajinan dan perikanan (darat dan laut) serta perdagangan harus diwujudkan, sambil mengembangkan kemandirian energi alternatif nonfosil. Kegiatan produksi sumber bioenergi (nonfosil) dapat dikelola menjadi kegiatan ekonomi sosial.
Kemandirian dan ketahanan dalam bidang pangan, energi dan air ini harus menjadi agenda yang serius dijalankan mengingat kian tingginya tingkat ketergantungan nasional pada pangan dan krisis energi yang seringkali mendera kita. Pembangunan penguatan dan kemandirian masyarakat ini termasuk untuk mengembalikan salah satu peran mereka sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan sekitar mereka seperti sediakala.
Menurut John Kretzman dan John McKnight, berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, dalam menyusun keswasembadaan masyarakat yang kuat maka kuncinya adalah dilakukan pemetaan seluruh kekayaan sumber daya alam, manusia, kelembagaan mereka, lalu memadukan dan mengerahkannya sedemikian rupa, sehingga pada gilirannya memperkuat perekonomian lokal mereka sendiri. Pemetaan ini menyangkut ketrampilan warga, perkumpulan-perkumpulan apa saja yang selama ini menjadi wadah mereka untuk memecahkan masalah dan membagi kepentingan mereka, termasuk usaha-usaha bisnis swasta serta lembaga-lembaga pelayanan umum sepeti sekolah perpustakaan, rumah sakit, dan badan-badan kesejahteraan sosial.[36]
Usaha-usaha produksi pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan tangan dihubungkan dengan organisasi jaringan konsumen perkotaan, sehingga terjadi hubungan langsung antara masyarakat produsen dengan konsumen yang akan membuat harga menjadi adil bagi produsen dan konsumen (tidak melalui makelar yang bernama pasar modern yang didominasi segelintir orang kaya). Konsep ini meniru gerakan pertanian yang ditopang masyarakat (Community Supported Agriculture / CSA) dimana konsumen juga bisa ikut memodali produsen. CSA ini telah menyebar di Eropa, Australia, dan Jepang sebagai manifestasi kemandirian lokal.[37]
Di Ekuador ada gerakan masyarakat bernama Canastas Comunitarias yang lahir untuk melawan dampak buruk pasar modern. Gerakan itu sama dengan CSA di Barat. Ketika Ekuador gagal mewujudkan ketahanan pangan maka gerakan ini justru memberi jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Gerakan ini berkembang pesat, berbagai proyek diusulkan untuk membangun ekonomi setempat berdasarkan produksi ramah lingkungan. Mereka menyebut gerakan itu sebagai gerakan “kedaulatan pangan internasional.”[38]
Agenda penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam berkaitan dengan hukum tata ruang yang berada dalam lingkup hukum lingkungan. Penetapan wilayah-wilayah ekoregion di setiap daerah sekaligus menetapkan wilayah-wilayah konservasi lingkungan dan konservasi pertanian harus melibatkan pendapat dan partisipasi masyarakat termasuk kearifan lokal. Penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam ini penting dalam rangka mempertahankan daya dukung lingkungan hidup terhadap keberlangsungan hidup, meminimalisasi potensi bencana.
Wilayah-wilayah konservasi yang telah ditetapkan tidak boleh diubah dengan menggunakan kebijakan politik tanpa melibatkan pendapat masyarakat setempat. Selain itu ditetapkan wilayah konservasi tetap (permanen) tanpa syarat setelah melakukan pemetaan wilayah rawan bencana dan rawan geologis. Ini untuk menghindari inkonsistensi seperti yang selama ini terjadi di mana wilayah-wilayah cagar alam dan hutan lindung dikorbankan sebagai wilayah konsesi pertambangan yang tentu saja akan mengeliminasi fungsi konservasinya.
Ketiga agenda di atas terkait dengan upaya-upaya pencegahan dan pemeliharaan serta perlindungan lingkungan hidup dengan menggunakan instrumen hukum nasional dan hukum masing-masing daerah dengan mengakomodasi kearifan lokal.
Dalam agenda upaya penegakan hukumnya dilakukan penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum. Nota kesepahaman ini dibuat untuk mengatasi agar dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan yang dilakukan instansi satu dengan yang lain, pusat dan daerah, tidak terjadi perbedaan-perbedaan tafsir hukum, baik hukum materiil dan formilnya, yang dapat menghambat peran dan fungsi penegakan hukum. Nota kesepahaman ini juga berfungsi untuk membangun paradigma secara bersama-sama sesuai dengan sistem hukum lingkungan Indonesia.
Pada zaman Orde Baru pernah dibuat Keputusan Bersama MAKEHJAPOL (Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai pedoman penegakan hukum dalam menjalankan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Cara seperti itu layak ditiru dalam agenda penegakan hukum lingkungan yang memang akan lebih rumit berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis dan ilmiah di bidang kimia, fisika, biologi dan geologi serta sosial
Lembaga-lembaga penegakan hukum lingkungan, baik itu Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Organisasi Advokat perlu secara bersama-sama merumuskan hal-hal yang dapat disepakati. Sedangkan hal-hal yang tidak dapat disepakati akan diserahkan pada proses penanganan perkara yang berlangsung hingga adanya putusan pengadilan ataupun penyelesaian lainnya.
Agenda penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum lingkungan juga melakukan inventarisasi norma-norma hukum lingkungan global, nasional dan lokal, juga melakukan pendalaman ilmu hukum lingkungan secara bersama bersama, evaluasi secara berkala, misalnya evaluasi semesteran guna menganalisis dan memecahkan bersama masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penegakan hukum.
Namun, upaya untuk mengefektifkan hukum lingkungan juga terdapat problem eratnya korelasi kekuatan modal dengan platform politik yang menjadi penyebab dominan kemandulan sistem hukum, disamping juga ada peran-peran kecil yang banyak dilakukan anggota masyarakat yang tidak disiplin, adanya perubahan perilaku sosial akibat kemiskinan sosial.
Ketaatan hukum para penguasa kapital terkait erat dengan “jasanya” kepada para penguasa pemerintahan suatu negara, di mana perusahaan-perusahaan raksasa menjadi penyumbang dana-dana kampanye partai politik yang berkuasa.[39] Sedangkan nilai yang dianut para penguasa modal bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum lingkungan. Hukum lingkungan merupakan  hukum yang “tidak disukai” para penganut mazhab ekonomi kapitalisme.
Keadaan itulah yang membuat penegakan hukum administrasi lingkungan hidup menjadi lemah, bahkan ada indikasi kesengajaan untuk membuat regulasi dan memberikan izin dengan cara-cara melanggar hukum, seperti contohnya pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dekat pemukiman penduduk ataupun di hutan-hutan cagar alam, serta mengubah tata ruang secara gegabah.  
Apabila aparatur negara lemah maka akan tergantung bagaimana rakyat mendorong agar hukum lingkungan efektif. Di banyak tempat justru terjadi konflik antara korporasi dengan masyarakat yang berusaha mempertahankan kelestarian lingkungan hidup. Dalam situasi seperti itu justru aparatur penegak hukum biasanya membantu korporasi untuk menyingkirkan masyarakat yang mereka anggap sebagai pembangkang. Di sinilah masyarakat yang kuat dan mandiri sangat dibutuhkan sebagai alternatif penegakan hukum ketika aparatur negara melanggar kewajiban hukumnya.
Dalam membahas persoalan ini, mau tidak mau harus memandang hukum dalam cakrawala kepentingan masyarakat, daripada kepentingan politik yang tidak mewadahi kepentingan rakyat. Jika aparatur negara tidak dapat diandalkan untuk mencegah dan menyelesaikan kerusakan lingkungan maka hukum lingkungan harus ditegakkan oleh masyarakat sendiri berdasarkan nilai-nilai baik yang mereka akui. Leon Duguit, seorang filsuf Perancis, menyatakan bahwa hukum adalah karya sosial yang disusun bila nilai-nilai ekonomis dan moral yang hidup dalam suatu masyarakat dipandang sebagai hakiki bagi masyarakat itu. Solidaritas sosial melahirkan hukum.[40] Maka, gerakan sosial menyelamatkan ekologi (eco-society action) harus dipandang sebagai fenomena hukum tersendiri yang diberi tempat.
Ketika penegak hukum lemah dalam menjalankan fungsinya, maka respon masyarakat untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dengan kearifan lokal mereka haruslah dianggap sebagai upaya-upaya menegakkan hukum lingkungan hidup. Ini yang dapat disebut sebagai “penegakan hukum oleh kesadaran masyarakat.”  Friedmann dalam karyanya Legal Theory menyatakan bahwa sumber hukum satu-satunya adalah “kesadaran hukum rakyat.”[41]
Nota kesepakatan penegakan hukum lingkungan juga harus memberi akses bagi cara baru dalam suatu upaya hukum. Dengan asas pertanggungjawaban kepada generasi mendatang maka siapapun diberikan akses untuk melakukan suatu upaya hukum yang bertindak untuk dan atas nama generasi masa depan. Model upaya hukum ini saya namakan sebagai prinsip “gugatan membela masa depan” (future lawsuit). Masa depan itu adalah keberlangsungan kehidupan di alam ini. Melihat potensi kerugian ekologis akibat kerusakan atau pencemaran yang luas maka siapapun secara moral berhak mewakili masa depan.
Pada prinsipnya, setiap orang atau badan atau grup yang kegiatannya berdampak pada sumber daya alam harus menjamin bahwa generasi masa depan tidak menjadi korban atas tindakan dan kegiatan di masa kini. Dengan demikian apa yang digugat oleh subyek hukum yang mewakili masa depan intinya adalah tentang jaminan keadilan dan kelestarian ekologis itu sendiri, baik berupa tindakan pencegahan ataupun pemulihan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta dana garansi pembiayaan pemeliharaan lingkungan yang harus dibayarkan kepada Bank Ekologi (Eco-Bank).
Bank Ekologi juga menjadi tempat-tempat donasi sosial hasil penggalangan dana dalam gerakan preservasi lingkungan hidup. Selain untuk membiayai preservasi ekologi, dananya juga didayagunakan dengan dipinjamkan untuk usaha-usaha yang sifatnya noneksploitatif yang mempunyai akibat preservasi ekologi, misalnya usaha-usaha produksi pertanian dan peternakan ramah lingkungan serta produksi sumber energi alternatif yang membantu pemulihan ekologi.


PENUTUP

1.         Simpulan
a.       Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan global, nasional dan mengakui kearifan lokal, yang merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum nasional berorientasi pada kepastian hukum, HAM dan keadilan, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2009. Sistem hukum lingkungan demikian itu bersifat responsif. Kelemahan undang-undang dapat diatasi dengan peran para hakim untuk menjalankan kewenangan menciptakan atau menemukan hukum yang sesuai dengan nilai kebenaran dan keadilan sosial.
b.      Implementasi sistem hukum lingkungan Indonesia adalah dengan cara membangun paradigma baru tentang ilmu pengetahuan yang berbasis lingkungan hidup, terutama mengonstruksi ilmu ekonomi agar bernurani, mengakui prinsip keadilan sosial sesuai dengan ekonomi Pancasila, memikirkan nasib generasi masa depan. Agenda penyelamatan lingkungan hidup Indonesia demi keberlangsungan hidup generasi masa depan yang layak dijalankan dengan gerakan pemerintah, sosial dan hukum ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan (eco-government, eco-society and eco-law action based on  eco-law system). Agenda tersebut dijalankan sekurang-kurangnya dengan melakukan (1) Penataan pemerintahan berbasis lingkungan hidup; (2) Penggalangan partisipasi dan penguatan masyarakat; (3) Penetapan wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam; (4) Penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum; dan (5) Penggalangan dan pendayagunaan dana ekologi. Efektivitas hukum lingkungan tergantung dari aparatur negara termasuk penegak hukumnya. Apabila upaya aparatur negara lemah dalam penegakan hukumnya maka partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam aksi untuk upaya penyelamatan lingkungan juga harus dianggap sebagai upaya penegakan hukum lingkungan oleh masyarakat. Selain itu, hukum harus memberikan akses upaya hukum bagi subyek hukum masa kini dengan dasar moral untuk mewakili masa depan, berdasarkan asas pertanggungjawaban generasi sekarang kepada generasi masa depan, di mana aktivitas generasi sekarang harus memberi garansi bahwa generasi masa depan tidak menjadi korban akibat perilaku hidup dan tindakan generasi sekarang.

2.         Saran
a.          Gerakan revolusi paradigma dalam ilmu pengetahuan berbasis ekologi seyogyanya dijadikan bahan-bahan pendidikan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, selain adanya upaya-upaya pengorganisasian masyarakat untuk penyelamatan lingkungan hidup.
b.         Institusi pendidikan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kualitas para intelektual hendaknya menyusun etika bagi para tenaga kependidikannya agar tidak melakukan konspirasi pemalsuan kajian ilmiah dengan para pelaku usaha. Untuk itu disusun suatu badan eksaminasi akademik untuk merespon maraknya penggunaan para ahli untuk kepentingan korporasi di pengadilan.


[2] Daniel C. Maguire, Energi Suci (terj. Ali Noer Zaman), Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004, hal. 8-9.
[3] Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia, Kompas, 27 Nopember 2009.
[4] Perubahan Iklim Dunia -  Masa Depan Pulau Kecil, Kiamat Kecil Negara Kepulauan, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 22 November 2007.
[5]Laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam masalah semburan lumpur panas Sidoarjo, tertanggal 29 Mei 2007.
[6] Subagyo, Lumpur lapindo dan Hukum Usang, opini, Kompas, 31 Mei 2010.
[7]Unofficial Transcript of the Ruling Read Out in Manado Court on 24-April-2007, dari Richardness.org,  dan Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 133-137.
[8] Jane Perlez, Report Heightens Pollution Dispute at Indonesian Bay,  berita, The New York Times, 9 Nopember 2004.
[9]Critique of the 'Buyat Bay' CSIRO Environmental Monitoring study commissioned by PT Newmont Minahasa Raya (2004), Mineral Policy Institute, 31 Oktober 2004.

[10]Hasil Studi Aspek Hukum Kasus Pencemaran/Perusakan Teluk Buyat, Tim Teknis dari Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pante dan Desa Ratatotok Timur Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Jakarta, 8 Nopember 2004.
[11]Rahman Dako, Perlawanan Sosial atas Pertambangan di Sulawesi Utara – Memahami Peranan LSM, Jurnal “Tanah Air” WALHI, Edisi Oktober-Desember 2009, hal. 165.
[12] Siaran Pers: Rakornas Penegakan Hukum Lingkungan 2010, 6 Desember 2010, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, www.menlh.go.id.
[13] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif (terj. Raisul Muttaqien), Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2007, hal. 257-258.
[14] Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 2.

[15] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume 1, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 204.
[16] Paul Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum), (terj. B. Arief Sidharta), Alumni, Bandung, 2005, hal. 73-74.

[17] H. Riduan Syahrani, Kata-kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hal. 240.
[18] Achmad Ali, op.cit., hal. 203.
[19] Ibid,  hal. 184-186.

[20]Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 4.
[21] Masyarakat Adat Menjadi Penyelamat Lingkungan, Tempo Interaktif, 2 Agustus 2006.
[23] Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer – Kajian Khusus Atas Teori-teori Keadilan (terj. Agus Wahyudi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 158.

[24] Satjipto Rahardjo (dalam Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal 23) menyatakan bahwa negara hukum modern yang disebut the legal system memiliki watak atau kosmologi liberal-individual yang memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam sistem hukum. Negara hukum modern yang liberal-individual memiliki tugas pokok, yaitu menjaga dan menjamin agar kebebasan dan kemerdekaan individu memperoleh kedudukan yang mapan. Usaha tersebut dilakukan dengan menciptakan filsafat, asas, doktrin serta prinsip-prinsip hukum yang sekarang seolah-olah sudah diterima sebagai sesuatu yang alami, sesungguhnya merupakan peninggalan (legacy) kemenangan borjuis.
[25] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 14.
[26] Yance Arizona, Peluncuran Buku "Green Constitution": Sebuah Ulasan, 6 Mei 2009 dikutip dari http://www.jimly.com/kegiatan?page=17.

[27] Fakta tersebut terungkap dalam perkara pajak Newmont Minahasa Raya, Putusan Pengadilan Pajak No. Put.04584/BPSP/M.III/18/2001.
[28] Daniel C Maguire, opcit, hal. 35.

[29] Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendakatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro,  Edisi I Cet. ke-8,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 77.

[30]Johan Galtung, Peace Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban, ( terj. Asnawi dan Safruddin), Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 283-285.
[31] Katherine Yih, Yang Merah dan Yang Hijau: Perspektif Kiri Dalam Memahami Ideologi, terjemahan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial, Jakarta, 2005, hal. 36.
[32] Aminuddin Kirom et al, Tambang dan Kemiskinan: Kasus-kasus Pertambangan di Indonesia 2001-2003, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 2005, hal. Vii.
[33] Daniel C Maguire, op.cit., hal. 31.

[34] Surna T. Djajaningrat, Kebijaksanaan Dan Hukum Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam Dilihat Dari Aspek Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Hukum Lingkungan Tahun IV No. 1, September 1997, Jakarta, hal. 8-9.
[35]Siti Maemunah, et al, RIO + 10: Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan, Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta, 2001, hal. 6-18.

[36] Colin Hines, opcit, hal. 94-95.
[37] Daniel C Maguire, opcit, hal. 102.
[38] Emma Kirwan, Menciptakan Platform Kota-Desa untuk Ketahanan Pangan, majalah Salam No. 25, Oktober 2008, hal. 18 – 21.
[39] Colin Hines, op.cit., hal. 6.

[40] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 210.
[41] H. Riduan Syahrani, op.cit., hal. 10.