Friday, November 26, 2010

PARADIGMA ILMU: POSITIVISME, POSPOSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME

A.     PENDAHULUAN

Pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.[1]
Sebelum membahas aliran-aliran paradigma ilmu, lebih dulu penulis kemukakan hasil penulusuran asal-usul filsafat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adah mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.[2]
Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).[3]
Al Bahi menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama primitif.[4]
Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Ternyata Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia, sehingga pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam bukunya Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.[5]
Dengan demikian, banyaknya literatur yang menuliskan bahwa asal-usul filsafat berasal dari Yunani hendaknya perlu diluruskan sebab pandangan tersebut hanya akan menyembunyikan sejarah filsafat.
           
Filsafat sendiri sebenarnya juga menjadi kajian ilmu. Namun, dalam definisi yang umumnya diakui ada perbedaan antara ilmu dengan filsafat.
Definisi ilmu ternyata beragam, berdasarkan pendapat para ahli yang berbeda. C.A. Peursen menyatakan bahwa ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[6]
Dalam Tanbihun.com dirangkum berbagai definisi ilmu pengetahuan dari banyak ahli, beberapa di antaranya sebagai berikut ini.[7] Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag menyatakan bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Cambridge Dictionary 1995 mengartikan ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan tujuan  tertentu dengan sistim, metode untuk berkembang serta berlaku universal yang dapat diuji kebenarannya.
Begitu pula definisi filsafat ada bermacam-macam menurut pendapat para ahli filsafat dari waktu ke waktu. Plato memandang filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Plato juga menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles juga menyatakan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Sementara itu Al Farabi mengartikan filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.[8]
Apabila diperhatikan berbagai definisi tentang ilmu tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan yang benar dan dapat secara sistematik diuji dengan suatu metode. Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan bergantung pada paradigma ilmu yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, apakah suatu metode ilmiah bersifat tetap sebagai pedoman yang positivistik demi menentukan kepastian cara menguji kebenarannya, ataukah metode tersebut dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian, ketika filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsasat ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.”[9] Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat imu merupakan cabang dari filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan kawan-kawan (at al) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[10] Di sini Conny Semiawan at al memandang filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan.
Tulisan ini selanjutnya akan menelaah tentang beberapa paradigma ilmu yang saya batasi pada paradigma positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme.

B.     PARADIGMA ILMU

Pemikiran manusia dari zaman ke zaman selalu berubah, mengalami perkembangan. Kita dapat menelaah sejarah di mana ilmu pada zaman sebelum Masehi sudah berkembang, terutama yang terkenal di Mesopotamia, Babilonia, Mesir, India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama Kristen di Eropa pada zaman Masehi turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, di mana hegemoni tafsir ayat agama dalam pemerintahan yang sempat mengintervensi dan menghakimi pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi pada kasus Galileo yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris, dengan mengemukakan teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya (heliosentris).
Namun demikian kesewenang-wenangan gereja tersebut tidak membuat para ilmuwan menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat Eropa seperti itu justru memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli terhadap perubahan sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma tentang ilmu pengetahuan, di antaranya positivisme, pospositivisme, konstruktivisme.

1.            Positivisme
Pemikir Barat yang dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier,  Perancis, 17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.[11]
Aguste Comte hidup pada zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik.  
Auguste Comte saat itu menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan.
Comte melihat keadaan Perancis sama dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut berada di permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Masa itu ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.
Fase berikutnya adalah fase metafisika, yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Comte mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma positivisme ini, C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).[12]
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif. Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.[13]
Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma ilmu positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif. Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma pospositivisme.

2.            Pospositivisme
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).[14]
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di   Vienna,  Austria,  28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17 September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[15] Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Saya berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika. Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.[16]
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik.[17] Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok ini (konstruktivisme).[18]
           
3.            Konstruktivisme
 Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.[19]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gagasan pokok konstruktivisme dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemologi dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Vico menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).[20]
Namun demikian penelitian sejarah pemikiran konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran bahwa konstruktivisme lahir sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca pemikiran Charles S. Pierce yang juga dianggap sebagai salah satu pemikir konstruktivisme, yang hidup pada tahun 1839-1914.
Van Peursen membagi konstruktivisme dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat W.V.O Quine yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan. Sedangkan P. Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan kontak dengan pengalaman. Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup memperbaharui terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.[21]
Kelompok kedua diberi nama “filsafat ilmu baru.” Para tokoh dalam kelompok ini di antaranya P.K. Feyeabend, N.R. Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem dan kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan ilmu terjadi melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan susila dan sosial. Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristik juga diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.[22]
Kelompok ketiga yang menganut paham konstruktivisme disebut aliran “genetis.” Kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J. Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode abduksi.[23]
Pierce itu menyatakan bahwa abduksi sebagai logika yang menentukan pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan interpretasi merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai sebuah proses sadar, abduksi merupakan bentuk ke tiga kesimpulan logis (seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan deduksi. Abduksi bisa dipandang sebagai pencarian akan penjelasan terbaik bagi fenomena apapun yang diamati yang memerlukan penjelasan: X (misalnya, penggunaan tak terduga sebuah kata tertentu) sungguh luar biasa; A, B, C merupakan kemungkinan penjelasan akan penggunaan ini; B (misalnya posisi sosial penutur, yang membedakannya dari interlokuter lain) tampaknya paling meyakinkan. Jika B memang benar, fenomena X tidak lagi luar biasa; dengan demikian B diterima sebagai satu hipotesis yang bisa menguraikan kejadian X.[24]
Secara lebih sederhana, perbedaan deduksi, induksi dan abduksi dapat digambarkan sebagai berikut:[25]
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
-----------------------------------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih

Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Abduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

Di dalam filsafat Islam, filsuf Al-Kindi tampaknya juga termasuk pemikir konstruktivis. Dalam karyanya yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berjudul Treatise on Metaphysics ia menyatakan: “Kita seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenaran dan menerimanya dari sumber manapun yang datang kepada kita, sekalipun ia dibawa kepada kita oleh generasi-generasi sebelumnya dan orang asing. Bagi orang yang berusaha menemukan kebenaran, tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri; ia tidak pernah merendahkan atau melecehkan orang yang mencapainya, justru memuliakan dan menjadikannya terhormat.”[26] Hal ini menunjukkan bahwa Al Kindi tidak berpatokan pada satu sumber saja dalam mencari kebenaran.
Begitu pula dengan Ibnu Sina yang tertarik dengan semua metodologi ilmu pengetahuan. Dalam kajian-kajiannya tentang ilmu alam Ibnu Sina bertumpu pada semua jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi terhadap Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi. Ibnu Sina memodifikasi silogisme Aristoteles, melakukan pengembangan ilmu fisika melahirkan fisika modern melakukan kritik terhadap teori-teori Aristoteles, melakukan observasi dan eksperimentasi sekaligus.[27]
Para ilmuwan Islam pada dasarnya memang telah diajari tradisi konstruktivisme guna mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu dalam Islam muncul berbagai mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta banyak mucul Thariqah.
Dalam ilmu tafsir Al Quran muncul bermacam-macam metode, diantaranya metode tafsir bil ma’tsur (tafsir melalui riwayat para sahabat Nabi Muhammad SAW), tafsir bil ra’yi (tafsir menggunakan akal) maupun gabungan keduanya.[28] Imam Al Baghawi di dalam mukadimah kitab Ma’alim at-Tanzil menyatakan: “Tidak menambah atas apa yang telah para ulama sebelumnya lakukan, tetapi tiap-tiap masa harus ada pembaharuan atas apa yang telah lama masanya, penuntut ilmu berkurang masanya, sebagai peringatan bagi orang yang terhenti, motivasi bagi yang sungguh-sungguh, maka dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya yang baik.”[29]
Saya berpendapat bahwa konstruktivisme menjadi jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara lebih leluasa, asalkan metode yang disusun dapat dipertangungjawabkan kebenarannya.

C.     PENUTUP

Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.



[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008, hal. 20.

[2] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam (terjemahan), IRCiSoD, Jogjakarta, 2006, hal. 9.

[3] Muhammad Al Bahi, Aljanibul Ilahi (saduran Dja’far Soedjarwo), Il-Ikhlas, Surabaya, 1993, hal. 61.
[4] Ibid, hal. 101-102.

[5]Akar Permasalahan Filsafat Yunani,  http://www.averroes.or.id, 15 Mei 2008.
[6] B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008, hal. 7-11.

[8] Ibid
[9] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,  Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 58.

[10] Semiawan, Conny et al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.

[12] C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (terjemahan J. Drost), PT. Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
[13] Anis Chariri, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop MetodologiPenelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, halaman 5.

[14] Ibid

[16] www.fisika.undip.ac.id, Seratus Tahun Karya Jenius Einstein, artikel diposting tanggal 26 Pebruari 2009.

[17] C.A. Peursen, op cit, hal. 84-85.

[18] Ibid, hal. 86.

[19]Suwandi, Filsafat Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan, http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com, 27 Oktober 2009.

[20]Markus Basuki, Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme, http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html

[21]CA. Peursen, op cit, hal. 87.

[22] Ibid, hal.88-89.

[23] Ibid, hal. 91.
[24]http://babang-juwanto.blogspot.com/2010/09/abduksi-logika-pembentukan-hipotesis.html, dikutip dari  Metode  Analisis Teks dan Wacana, Stefan Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.

[26] Seyyed Hossein Nasr, op cit, hal. 31.

[27] Ibid, hal. 64-66.

[28] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (terjemahan), PT. Rajagrafindo Persada, 2006, hal. VII-IX.

[29] Ibid, hal. 292-294.